Belakangan ini udara Malang bikin mengkerut.
paling enak melingkar di bawah berlapis-lapis kemul,
lalu asik bergumul sampai ketiduran didekap kamu.
Aku ingin cepat pulang.
memeluk guling,
bersandar di dinding,
atau sekedar ongkang-ongkang di serambi.
memandangi ayunan padi,
menikmati kota masa kecilku yang masih minim polusi,
meski hanya di ranah mimpi.
Hari sudah senja menjelang malam,
atau.. sepanjang hari terasa sekelam malam?
Ntahlah.
Aku bingung dan muak dengan teror yang mengendap di kedalaman tatapan.
teror tentang kepura-puraan,
amarah pemicu pertengkaran,
penolakan berlandaskan keegoisan,
dan ratapan karena enggan melepaskan.
Aku sungguh ingin pulang,
tapi aku tak bisa pulang.
kawanku menunggu setia di meja gadai,
membawa sekarung masalah dan mengemis tolong agar bisa lekas selesai.
Pun lelakiku yang sedang suntuk karena sibuk, kini jadi gampang sekali mengamuk.
Aku lenyap pun kurasa dia tak akan merasa,
tapi aku memilih tetap sigap menemaninya meniti jembatan,
menuju masa depan yang penuh pertaruhan,
meski kadang diabaikan.
Dan nyawa ibu yang sedang kujaga,
serta bocah enam tahun yang masih harus ku'pelihara',
karena melepas kancing seragam sekolah saja Ia masih tak bisa.
Aku ingin pulang, tapi aku tak bisa pulang.
Ntah itu sekedar hinggap di kota kecil bagian barat sumatera,
ntah itu menyusup di lenganmu yang kini terkatup rapat karena otak dan hatimu sangat singup,
atau berjam-jam meringkuk seperti kluwing di bawah selimut merah kesayanganku tanpa merasa terganggu.
Aku sungguh ingin melenggang pulang, tapi aku tak bisa pulang.
Masih ada yang harus kuselesaikan.
Dan kurasa apa-apa yang kusebut rumah, tak akan keberatan menunggu beberapa jam atau ribu hari lagi.
Dialek khas, aroma kabut lembah anai, kecut tubuhmu, senyum lugumu, omelan dan omelet ibu, serta guyonan kawan-kawan adalah rumah bagiku.
Dan aku tak akan jadi kacang yang lupa pada kulitnya. :)
Malang,
17 Juli 2014
Farida Firdani
@FirdaaaFF
hmmm.. ya ya ya
BalasHapus