Fantasy

  • 0
“Sometimes we aren’t born to be ordinary, but the environment pushes us to be ordinary.” And maybe that's why we need some slight of pinches of creativity, and.. fantasy in our live.

















Judul : Fantasy
Penulis : Novellina Apsari
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Genre : Fiksi
Tebal : 312 halaman
Terbit : April, 2014
Harga : Rp 62.000,-
ISBN : 9786020303550
***

Pertama kali melihat Fantasy, aku yakin isinya pasti cuma kompilasi kisah-kisah tentang negeri entah berantah dimana para tokoh yang awalnya sengsara akhirnya hidup bahagia, tentang Prince Charming yang jatuh cinta pada rakyat jelata, atau tentang Kapten Tim andalan sekolah yang 'disembah-sembah' para gadis belia.

Yap, kupikir Fantasy hanya berisi dongeng-dongeng klasik.

Tapi ternyata Fantasy yang ini berbeda!

Tema yang dikatrol melalui wujud Awang dan Mitha, serta berbagai kebetulan yang terencana inilah yang membuat musik klasik sebagai pertunjukan utama novel ini jadi terasa begitu asik dan menggelitik.

Fantasy tak hanya bicara tentang impian seseorang yang seringkali berakhir jadi sebuah bualan. Ia bercerita tentang bagaimana sebibit mimpi yang tak lebih besar dari biji sawi tumbuh dengan penuh perjuangan, lalu berbuah manis saat satu demi satu mimpi tadi mulai bertransformasi jadi kenyataan.

Fantasy adalah novel perdana yang dilahirkan Novellina Apsari dan bercerita tentang perjalanan tiga orang remaja dari sebuah kota (hampir) metropolitan; Surabaya, yang harus melanglang jauh — sampai ke Kedai Makan Kuno di Shibuya, Tokyo. Hinggap di Salzburg, tempat rumah Mozart yang legendaris itu berdiri, hingga akhirnya sanggup melunasi janji di tempat para musisi besar dunia hidup dan menghidupi karyanya; Wina — demi memupuk kembali benih mimpi yang sempat layu dan melengkapi keping terakhir mozaik yang dulu sempat tercecer karena tak sanggup melipat jarak.
Bersama Fantasy, aku diajak meniti perjuangan Davina; Gadis muda seperempat belanda pengidap sisir-phobia dengan idealisme dan determinasi yang jauh melebihi usianya. She always live her life with positive mind, serta tau betul apa yang ia inginkan. Dan yang Ia inginkan adalah, 'mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik'.

Sahabat kontrasnya, Armitha; Orang yang tidak pernah berpura-pura menjadi orang lain, tidak pernah menyembunyikan kemarahan, dan tidak pernah mengatakan hal yang berbeda dengan apa yang dirasakan. Handal merefleksikan emosi pada setiap tingkah lakunya + memiliki kecepatan makan dua kali lebih cepat dari Davina.

Dan Sang maestro, Awang; Lelaki yang dijuluki beruang grizzy cokelat dengan aroma white musk kesayangan Davina dan Mitha, yang bermetafora menjadi seorang Indonesian Brilliant Pianist setelah tujuh tahun berlatih tak kenal lelah seperti zombie, demi lekas kembali pada Lucky Star-nya.
Perjalanan puuuanjuuang mereka akhirnya berujung pada sebuah pertemuan. Pertemuan yang kemudian menghadapkan ketiganya pada beragam persimpangan penuh keegoisan, ambisi, rindu, serta mosi tidak percaya.
***

Membaca Fantasy terasa seperti sedang bermain ular tangga; tidak membosankan dan penuh kejutan. Otakku diseret maju-mundur mengikuti alur novel ini. Sedangkan emosiku dipompa naik-turun karena konflik dan latar masalah yang, "Wah kok gak kepikiran ya?!!", serta point of view yang berganti-ganti seperti aturan menjalankan bidak.

Twist-nya benar-benar patah! Dan sebagai pembaca dengan tingkat curiousity yang sangat tinggi, membaca Fantasy yang sarat teka-teki ini benar-benar memuaskan hasrat keingintahuanku. Membuatku pantang berhenti hingga lembar terakhir khatam, lalu sibuk terkekeh-kekeh sendiri saat tebakanku ternyata banyak mleset-nya.

Harus ku akui, sebagai pecandu Sherlock Holmes, aku merasa gagal. She did it veerrryy well! Kalau bisa bertemu dengan Novellina sekaliii saja, aku sungguh ingin meremas-remas tangannya karena Ia berhasil mengecohku tanpa ampun! Dan aku yakin, kamu juga akan melakukan hal yang sama saat menamatkan novel Fantasy yang fantastis ini!

Lewat Fantasy, Novellina seakan menantangku bermain petak umpet. Aku harus menebak apa yang bersembunyi di balik satu lembar lagi, atau enam lembar lagi.
Lalu, seperti bocah lima tahun yang kesenangan ketika berhasil menemukan persembunyian temannya, aku yang (sesekali) berhasil menebak perpindahan rasa dari tokoh satu ke tokoh lain dengan tepat juga refleks senyum-senyum gemas sambil jumawa tak karuan. :)))))

Sungguh! Fantasy membuatku terjebak dan ikut teraduk-aduk selama mengarungi 312 halamannya.
Jika ada yang bertanya bagaimana rasanya membaca novel ini, bagiku Fantasy adalah sebuah fiksi rasa ensiklopedi. Banyak sekali istilah-istilah baru yang kulahap, terutama tentang musik klasik yang merupakan magnet besar di novel ini. Hampir di setiap bab aku bisa menjumpai foot notes dan paragraf-paragraf penjelas tentang musik klasik yang disuguhkan dengan ciamik oleh Novellina.
Aku sampai curiga.. mungkin jika semua foot notes dan paragraf penjelas itu dijadikan satu, Novellina bisa menerbitkan satu novel baru lagi!

Tapi, ntah dengan sulap apa, aku lagi-lagi dibuat takjub karena keherananku seketika berubah menjadi kekaguman. Kagum dengan cara Novellina yang berhasil menerjemahkan musik klasik pada orang buta nada sepertiku. Penjabarannya benar-benar ramah dan mampu diterima nalar hingga cerita yang disuguhkannya jadi lebih sederhana tapi tetap berwarna.
Dan dari Fantasy, aku tak hanya dapat istilah-istilah tentang musik klasik, tapi juga diksi unik yang belum pernah kutemui dimanapun!
>> Sisir-phobia, naïve warrior, anti-reading syndrome, public attention avoider, ultimate weapon, darah seperempat Belanda, lack of humanity, hug-therapy.

Ingin tau apa arti semua kosa kata unik itu? Raih Fantasy di rak toko buku kesayanganmu! Beli, jangan nyuri!

Selain diksi unik, ada selipan bahasa jepang, perancis dan inggris yang bertebaran rata di bagian awal, tengah, serta akhir cerita. Aku rasa semuanya sudah seimbang.

Ya mendidik, ya menggelitik.

Dan sebagai karya perdana, mataku cukup dimanjakan karena tak ada kesalahan cetak atau typo dalam penulisan.
***

Humaniora

Dari Fantasy aku belajar arti persahabatan tanpa pamrih yang sesungguhnya. Di bab "And I Love Her" halaman 213-219, contohnya.

Terlihat sekali bagaimana Davina tetap mengimani bahwa Mitha adalah sahabat sejatinya. Yang akan kembali pada waktunya, tanpa perlu mendebat atau menjelaskan apa yang sudah Davina perjuangkan untuknya.

Actions speak louder than a thousand words. Indeed.
Pun dari sosok Armitha yang meskipun emosional, tapi tak pernah malu atau gengsi untuk mengakui kesalahan dan keegoisannya. Dari Armitha pula aku belajar untuk tidak berpura-pura dan berusaha merasa selalu cukup dalam menjalani hidup dengan apa yang kupunya.

People reader; Awang.
Melalui Awang aku meyakini bahwa mencintai itu berarti memberi. Memberikan yang terbaik, yang kau bisa. Dan membohongi perasaan bukanlah hal yang baik, apalagi terbaik.
Lalu Valenntina, sosoknya digambarkan sebagai seorang guru musik di Fantasy. Tapi bagiku, ia juga guru yang mengajari bahwa mimpi tak boleh dicaci. "Karena mimpi adalah inti dari sebuah kehidupan manusia."

Seakan tak habis-habis, melalui Fantasy, lagi-lagi Novelinna membuat ku merasa digandeng berkeliling dunia bersama Davina, Awang dan Mitha. Latar tempat yang nomaden tak jadi masalah bagiku karena penggambaran suasana dan bentuk bangunan sampai rasa masakan yang diuraikan Novellina membuatku seakan benar-benar berada di sisi Davina yang berdesak-desakan ditengah arus masyarakat Tokyo saat harus meliput pers konferens.

Atau benar-benar ikut nimbrung dengan Armitha yang tengah sarapan bersama Awang sambil menikmati kilau Sungai Salzach, serta merasakan empuknya duduk di atas tatami di sebuah restoran kuno kecil di Maruyama-Cho, Shibuya.Dan ikut terharu seakan aku mampu mendengar denting piano yang jadi saksi akhir pencarian Awang.

Akhir yang merupakan awal dari lahirnya “Fantasy”.
***

Kalau butuh 7 tahun bagi Davina, Awang, dan Armitha untuk mewujudkan mimpinya.
Aku hanya butuh (paling lama) 7 hari untuk melahap Fantasy, kemudian jatuh cinta pada setiap frasanya, tenggelam di lautan emosi karena konflik heroik yang datang silih berganti, dan terhanyut dalam air mataku sendiri saat melihat betapa sebuah persahabatan, cinta, dan kesetiaan akan selalu menemukan jalan pulang meski harus mengorbankan semua hal.
Semua hal, kecuali keyakinan akan hal-hal baik.

Yap!

"Love doesn't conquer all,
faith does."

-Farida Firdani
@FirdaaaFF
Ditulis untuk merayakan lomba Resensi Novel 'Fantasy' oleh Novellina Apsari (@Novellinaapsari) dan @Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar