Box

  • 0

"Kami poetra dan poetri
Indonesia, mengakoe
bertoempah darah jang satoe,
tanah air Indonesia.

Kami poetra dan poetri
Indonesia mengakoe berbangsa
jang satoe, bangsa Indonesia.

Kami poetra dan poetri
Indonesia mendjoendjoeng
bahasa persatoean, bahasa
Indonesia."

Mungkin ada yang bingung mengapa postingan kali ini saya buka dengan 3 bait sumpah pemuda. Saya bukan sok nasionalis atau buta kalender hingga merayakan sumpah pemuda lebih cepat dari yang seharusnya. Bukan.
Tapi, menjelang Pilpres yang tinggal hitungan jam lagi, saya hanya ingin mengingatkan kembali bahwa kita se-endonesa ini merupakan satu kesatuan.
Satu kesatuan, yang harus dijaga keutuhannya.

Masalahnya, siapa yang akan menjaga keutuhan itu jika seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebulan terakhir ini, banyak sekali chaos yang terjadi di (hampir seluruh) media masa. Ntah itu di koran, tabloid, atau tayangan berita pagi, berita siang, berita malam, sampai media (yang tampaknya) remeh seperti twitter dan facebook.

Saking mudahnya kita mengakses informasi, kita bisa melihat bahwa banyaknya ideologi-ideologi yang berseberangan bisa mengakibatkan perdebatan atau bahkan permusuhan.

Tanpa kita sadari, di Pilpres 2014 ini kita tlah mengalami banyak kehilangan.
Kehilangan teman, kejernihan pikiran, bahkan kehilangan diri kita sendiri. Kita sibuk saling menjatuhkan dan berlomba-lomba melakukan pembenaran, seolah kita adalah Tuhan yang Maha Benar.

Saya akui, sebagai remaja yang baru menginjak 17 tahun tepat tiga hari sebelum pesta demokrasi 9 Juli besok dihelat, dan sebagai "first voters", saya dan teman-teman seumuran mendapat banyak sekali pelajaran dari proses pilpres yang bikin adem panas dan geregetan seakan sedang eyel-eyelan dengan pacar ini.

Banyak dari teman saya yang masih menjadi swing voters.
Sebagian lagi, hanya ikut-ikutan 'dongengan' orang tuanya.
Dan hanya sedikit sisanya yang sudah menentukan sepenuh hati untuk stand on the right side, or on the left side.

Saya pribadi tidak pernah mengalami gangguan atas perbedaan pilihan antara saya dan teman-teman saya tersebut.
Bahkan akhir juni lalu, ketika black campaign dan negative campaign serta Debat Capres dan Cawapres sedang seru-serunya jadi topik pembicaraan semua kalangan, saya yang tengah asik camping dengan 10 orang teman saya juga tak mau kalah dan ikut berdebat kusir perihal siapa yang paling cocok memimpin Indonesia 5 tahun ke depan.

Hasilnya, separuh dari teman saya memilih pasangan nomor 1 karena mereka menganggap Pak Prabowo bisa lebih tegas dan rakyat Indonesia yang sudah kelamaan membangkang ini butuh sedikit 'dipecut' agar bisa kembali tertib.
Kami yang memilih nomor 2 mengangguk tanpa menjelek-jelekkan kubu lawan. Karena menurut kami, semua orang bebas berpendapat dan tak ada pendapat yang benar-benar benar.
Dan walau berdiri dengan pilihan yang berbeda, di siang yang terik itu kami tetap rukun berbagi sisa air tawar yang ada dan terus semangat membangun tenda serta mengumpulkan ranting-ranting kering untuk api unggun malam harinya sambil tetap gojlok-gojlokan dan menyanyikan lagu-lagu pop menye-menye tanpa pikir pusing tentang pilihan kami yang berbeda.

Mungkin kalian menganggap 'Halah, jelas saja tak dianggap pusing! Remaja ingusan seperti kalian ngerti apa?!'
Tapi Mas, Mbak, Pak, Buk, siapa lagi yang akan meneruskan roda pemerintahan negara kita yang bobrok dan bocor sana sini ini kalau bukan kami? Memang banyak remaja yang tak peduli dan lebih ingin tinggal di luar negri. Tapi tak sedikit pula yang masih mau melakukan perubahan untuk indonesia yang lebih baik.

Toh, beberapa hari ini, jika kita amati bersama, malah golongan 20an keatas lah yang nyatanya tak bisa mendukung pesta demokrasi dengan baik karena cletukan-cletukan yang kurang mengayomi dan kurangnya toleransi. Contoh nyatanya, respon-respon 'kejutan' dari followers satu orang yang saya kenal karena pilihannya ternyata berbeda dengan pilihan saya dan juga dengan orang-orang di lingkar sosial kami.

Respon para followers itu banyak yang menghujat, banyak yang kemudian hilang respect, banyak yang merayu agar berubah pilihan, tapi tak sedikit pula yang masih bisa menerima perbedaan.

Sebagai remaja 17 tahun dan sebagai first voters yang selama ini menganggap mafia-mafia pemerintahan gak jahat-jahat amat, dan mengira demokrasi di Indonesia sudah terlaksana cukup baik, kini saya serasa ditampar saat menyaksikan sendiri demokrasi yang digadang-gadangkan itu nyatanya masih nol besar.

Mafia-mafia itu membuat demokrasi kita cidera dengan segala cara.
Ntah itu mem-brain washing lewat tabloid palsu, membongkar kasus 16 tahun silam untuk menjatuhkan citra, membajak akun-akun twitter untuk meningkatkam elektabilitas survey di media sosial, sampai menyebar nasi bungkus + seamplop uang, pun, bagi-bagi kursi kekuasaan, atau memaksa bawahannya agar memilih pilihan yang sama dengan Boss-nya dan dipecat jika membangkang.
Ada lagi yang mengedit gambar-gambar berisi tulisan tidak sopan dan saling mencaci simpatisan capres pihak lawan.

Saya bingung, rakyat indonesia yang sudah tersohor keramah-tamahannya di dunia, ternyata tak ramah dengan saudara sebangsanya sendiri hanya demi keserakahan pribadi yang mengatasnamakan kepentingan golongan. Sampai saya berpikir kalau kayaknya perlu antisipasi ketersediaan rumah sakit jiwa bagi simpatisan fanatik capres yang 9 juli nanti kalah. Hehehe :)

Toh kubu manapun yg menang di pemilu kali ini, kita tetap terhitung kalah jika sewaktu proses pemilihannya telah mengorbankan pertemanan.

Toh kalau pilihanmu sudah bulat, Segitiga Bermuda dan Tantri KOTAK pun tak akan bisa merubah pilihanmu, kan?

Bagimu pilihanmu, bagiku pilihanku.

Saya menghargai pilihanmu, kamu menghargai pilihan saya.
Selanjutnya, biarlah kita sepakat untuk tidak sepakat.

Toh pilih satu atau dua, kita sama-sama ingin lihat indonesia yang berbeda dan lebih sejahtera. Pokoknya, menkominfo-nya bukan orang berpkiran primitif seperti Pak Tif lagi.

Toh siapapun yang naik nanti, kita yang kini terpecah akan sama-sama berada di barisan terdepan untuk menurunkan RI 1 jika ia tak bisa mengimami Indonesia dengan baik, kelak.

Dan untuk yang masih kekurangan asupan toleransi,
Everyone has the right way to say anything they want or what they choose on their own socialmedia.
A-ny-thing!

And if you hate or intimidate someone who disagrees with you, then, don't put social on the first place.
You should live in a box.

Malang,
8 Juli 2014
Teruntuk @abdurarsyad dan orang-orang dengan pilihan yang berseberangan.
Dari saya yang baru tujuh belas tahun dan lagi geregetan dengan perbedaan,
Farida Firdani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar