Jangan Pernah Berhenti.

  • 0

Untuk apa kita menulis?
Mengapa ada orang yang begitu mencintai tulis menulis?
Apa yang seharusnya kita tulis?
Dapat apa kita dari menulis?

Banyak sekali pertanyaan yang terbersit dengan hanya sepelemparan topik. Memang begitulah manusia; diciptakan penuh rasa ingin tahu, tapi masih adaaaaa saja yang malas mencari tahu.

Kalau dalam Rumah Kaca-nya, Almarhum Pram pernah bertutur : "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." (Halaman : 352, Minke)

Bagi saya pun begitu.
Menulis bisa oleh siapa saja, tentang apa saja, kapan saja, dan dimana saja. Sebelum ada blog, tumblr, atau wordpress, kita hanya menulis di kertas. Sebelum ada kertas, manusia purba berusaha mengukir di dinding gua, memahat kayu, atau menyayat pelepah.
Manusia memang tak pernah kehabisan akal, sejak dulu. Ajaib!
Itu karena otak kita adalah opera tanpa jeda yang tak akan pernah bisa dibredel keteraturan dan keterbatasan.

Seperti yang Yoris Sebastian katakan saat Talk Show di NET. TV, Rabu 2 Juli 2014 lalu, "Semua manusia itu sudah kreatif sejak lahir, sistemlah yang menumpulkannya. Tapi sekecil apapun, otak kita sudah dikodratkan untuk melakukan perlawanan, melakukan penolakan. Otak kita masih tau celah lain mana yang bisa dipakai untuk mengekspresikan perasaan."

Saya setuju.
Asal yang kita lawan bukanlah ilmu pengetahuan dan pembaruan.
Karena jika melawan itu semua, maka sama halnya dengan memancung kepala sendiri menuju lubang kemunduran, yang berujung kematian; matinya keingin tahuan, matinya kebebasan, dan bahkan, matinya jati diri. Bukan hanya jati diri sendiri, tapi juga jati diri negri ini.
"Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan; betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi.Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. ( Von Kollewijn : 32, dalam "Jejak Langkah" oleh Pramoedya Ananta Toer.)

Lalu, bagaimana agar kita tak kehilangan jati diri?
Seperti firman Tuhan, "Sampaikanlah hai Muhammad, walau hanya satu ayat."
Menulis juga begitu.
Tulislah, kawan-kawan.. Walau hanya satu dua kata, atau satu dua paragraf.

Kalau masih tak percaya, sini kuberi tau satu hal,
tak ada tulisan yang tak berguna, kawan.
Ntah itu yang sudah berrima indah sedemikan rupa atau masih berwujud kerangka ringkih berisi keluhan-keluhan menyebalkan yang menuai picingan oleh mata kita sendiri.
Simpan-tulis yang baru-simpan-ambil yang lama-kembangkan-gali lagi-cabangkan lagi-merasa cukup?-sudahi. Tapi jangan pernah kau ludahi.

Percayalah, semua tulisan (yang bagimu tak penting itu) akan jadi penting, pada waktunya, pada para pembaca yang menantinya, yang tak akan pernah kau ketaui kapan atau siapa. Karena sama seperti hidup, menulis tak perlu banyak bertanya. Kau hanya perlu menjalani. Yang perlu kau lakukan, jangan terlalu pesimis pada tulisanmu. Jangan!

Toh apa yang kau anggap baik, belum tentu baik bagi orang lain.
Dan apa yang kau anggap jelek, belum tentu jelek pula menurut orang lain.
Jadi, bersemangatlah!

Lagipula, dari menulis kau tak hanya dapat uang atau prestasi. Tapi juga interpretasi diri, pun dari keluhan yang kau tuangkan, sedikit banyak membuat bebanmu perlahan menguap di udara. Membuat bahu bungkukmu lebih siap untuk memanggul beban-beban lain yang lebih berat.

Bagi sebagian lagi, menulis adalah pengingat akan masa lampau yang tak bisa lagi mereka jangkau.

Untuk separuhnya lagi, menulis adalah obat pelipur lara yang dapat meledakkan tawa. Bagi dirinya sendiri, dan orang-orang di sekitarnya.

Sedang sisanya, menulis adalah suatu ajang berbagi tentang keindahan suatu tempat, atau berbagi kritik tentang pejabat-pejabat yang sangat terlaknat itu.

Kuberi tahu satu hal lagi,
dalam berbait-bait sajak, larik, atau belasan paragraf, kau bisa menjelma jadi apapun.
Jadi pujangga, jadi lelaki dan wanita, jadi seorang yang (tampak seperti) ahli sastra, jadi sang pemain cinta, jadi pengagum rahasia, atau jadi seorang yang bijaksana tapi kadang sama rumitnya seperti lalu lintas di Jakarta.
Dengan menulis, kau bisa jadi apapun yang kamu mau. Apapun.

Menulislah, karena batas antara yang kau impikan dan pahitnya kenyataan hanya seperlompatan abjad yang tersusun penuh alasan.

Menulislah saat disakiti, maka tulisanmu akan menjadi sebuah reinkarnasi.
Menulislah saat kau sedang berada di titik tertinggi, maka tulisanmu akan bermetafora serupa prasasti.

Menulislah, agar kewarasan dan kemanusiaanmu tak hilang dimakan zaman yang kini penuh keegoisan, kerakusan, dan kemunafikan.

Tapi jangan lupa, bahwa "kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan."

Agar lebih nyata,
Anggap saja menulis sama dengan melukis. Kau punya jemari sebagai kuas untuk menggambar, dan isi kepala untuk mewarnai. Kau bisa membangunkannya sebuah museum dan walaupun tak ada yang berkunjung, jangan pernah tutup museummu. Jangan pernah.
Terus pugar, dengan mempertajam nalar.

Anggap saja menulis itu pertempuran. Kau harus pulang dengan keadaan selamat karena dengan tameng keteguhan dan amunisi pikiran yang tak habis-habis untuk menyerang lawan, kau harusnya mustahil untuk dikalahkan. Pikiranmu adalah trigger yang jika dilepas, mampu membinasakan semuanya.

Jangan pernah berhenti menulis. Karena sejatinya tulisanmu mempunyai satu pembaca setia, satu pengunjung setia, dan satu pejuang setia; dirimu sendiri.
Pengagum, pembeli, dan medali hanyalah bonus.

Sekali lagi,
Jangan pernah berhenti menulis.
Karena jika kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.

Malang,
4 Juli 2014.
Dari yang ingin berkawan karib dengan menulis dan mengajakmu ikut serta,
Farida Firdani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar