Di jalan menuju rumah,
tak ada taman bunga.
Hanya ada padang ilalang yang gersang dan luas terbentang, untuk disulap jadi gedung-gedung serupa hambalang.
Di jalan menuju rumah,
tak akan kau temui sungai jernih penuh ikan segar.
Cuma tersedia parit kecil yang lebih sering dinaungi sampah, dan ludah.
Tak ada rindang beringin tempat berangin-angin,
hanya senja oranye dari lampu-lampu jalan hasil kemajuan pembangunan yang perlahan membutakan kemanusiaan.
Orang bilang, jalan menuju rumah ini menafsirkan kemurungan tak berkesudahan.
Kadang tak ada kemacetan,
kadang pula bisa pengap oleh kegelisahan yang dirayakan jadi keluhan.
Tapi tenang,
itu bukan jalan menuju rumahmu.
Jalan menuju rumahmu hanya jalan setapak,
yang tak lebih lebar dari satu depa
atau sayap burung yang sedang berkepak-kepak.
Jalan setapak ini penuh dengan suara merdu burung yang berkicau, meski beberapa juga ada yang parau.
Di jalan setapak menuju rumahmu,
juga tak ada sungai jernih atau semilir angin dan kemilau jingga sang senja.
Tapi janganlah kau khawatir atau tertawa getir,
siapa yang butuh itu semua?
Karena sudah ada seseorang yang tegak dan menanti di ambang untuk menyambut kamu;
orang yang paling ia sayang.
Ia tegak sepanjang hari dengan serantang peluk yang akan basi jika tak kau cicipi.
Ia akan menjamumu dengan cinta,
yang lebih besar dari semesta.
Malang, 2 Agustus 2014.
Dari Ia yang kesenangan karena hari ini kekasihnya pulang dan tak sabar untuk kencan!
-Farida Firdani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar