Saya yakin Pandji Pragiwaksono bisa jadi bos MLM

  • 0

Jika saya mengumandangkan nama Pandji, pasti respon yang sering dilontarkan lawan bicara saya adalah "Oh, Pandji yang suka cium cium ular itu?" atau "Oh, Pandji yang lucu terus bisa nyanyi cepet itu?" dan jarang sekali ada yang notis betapa sosok Pandji Pragiwaksono sebenarnya jauh lebih dari sekadar penyanyi rap, maupun pelaku komedi.
Jarang yang menyadari bahwa Pandji berpotensi jadi bos MLM level diamond.

Jika kalian bertanya balik, di mana saya mendapatkan kesan anti-mainstream itu, saya mendapatkannya di buku Indiepreneur dan makin yakin saat menonton penampilan blio di Juru Bicara Surabaya. Kemudian, kesimpulan saya semakin bulat pasca menonton Juru Bicara Finale di Jakarta, versi DVD-nya. Sebenarnya, saya tidak terlalu berminat membeli versi DVD dari Stand Up World Tour ini karena harganya cukup merogoh kocek. Namun, berkat pembicaraan beberapa waktu lalu dengan Ernest Prakasa yang baru saja merampungkan show Setengah Jalan-nya di Malang, beliau bilang bahwa materi tour seorang komik akan selalu mengalami metamorfosa di tiap-tiap kota dan akan menjelma kupu-kupu cantik saat di kota finale. Lalu, karena terbitnya rasa penasaran akan bagaimana proses Juru Bicara yang masih ulat hingga menjadi kupu-kupu tersebut, saya akhirnya merestui pasangan untuk membeli DVD Limited Edition Juru Bicara senilai Rp350.000,-.

Kesan pertama saya usai khatam menonton Juru Bicara baik di Surabaya maupun versi DVD-nya ialah: "SHOW STANDUP INI ADALAH VERSI LIVE DAN LEBIH SADIS DARI INDIEPRENEUR!"
Jadi, bagi kalian yang malas membaca dan lebih suka dengan suguhan visual, Juru Bicara adalah solusi terbaik untuk menjadi pribadi yang lebih memahami karya, lebih mengerti bagaimana cara menjual karya, dan bisa belajar mengubah produk-produk sampah yang kelak bisa bernilai wah. Pandji, dalam Juru Bicaranya, menyontohkan peristiwa penjualan kerikil di Pasar Seni. Dan contoh tersebut seakan-akan menampar saya yang terlalu takut untuk menjual karya dan cenderung membuat DIY-DIYan untuk konsumsi pribadi semata. Saya merasa, barang saya pasti diremehkan, tidak diminati, dan selera saya dianggap aneh. Tak satupun dari kita suka dianggap aneh, bukan? Padahal, Pandji dan Radityadika adalah mereka yang sukses karena menjadi aneh. Menjadi berbeda. Menjadi.... bercirikhas. Padahal, ujar Pandji dalam Juru Bicara: "Produk apapun bisa dipasarkan selama kita tau gimana cara memasarkannya."
"Kunci dari berkarya adalah bikin aja dulu, lalu bikin yang lebih baik lagi. Yang penting harus terus berproses."

Saya juga sama sekali tidak menyangka bahwa buku tentang teknik bisnis-berbisnis ini bisa dibaca dengan enteng. Bahkan, sedari halaman pertama tentang cerita Pandji dan ayahnya saja saya sudah bisa memetik banyak "Ohhh iyaya" momen. Cukup mengejutkan lagi bagi saya karena rata-rata, kebanyakan buku yang mengandung imbuhan -preneur di belakangnya adalah buku yang hanya berisi teori secara general dan studi kasusnya terlalu tidak relate dengan dunia pembacanya. Alias, terlalu banyak menggunakan contoh western padahal habit dan kemampuan penduduk Indonesia yang sangat timur ini jelas tidak sama. Dan Pandji menyadari hal itu. Makanya, ketika kalian membaca Indiepreneur, banyak kisah perjuangan di balik proses desain hingga penjualan album Pandji, kisah promosi tiket show standupnya, dan trik penjualan di wongsoyudan yang akan kalian jumpai. Semuanya menggunakan contoh pasar tanah air. Tipikal pelanggan yang rewel, teman yang minta gratisan, sampai kasus bajak membajak juga akan kalian jumpai di buku ini. Tapi, jelas tidak ada trik mencium king kobra tanpa kena patok di dalam Indiepreneur ini, ya.

Selain itu, Indiepreneur bisa dibilang resmi menjadi kitab suci saya dalam menunaikan tugas sebagai socmed strategyst di sebuah media tekno. Saya belajar bagaimana menggunakan tools untuk memantau sosmed dan memaksimalkan fungsinya. Yang mana, topik tersebut sebenarnya sudah saya baca berkali-kali di berbagai sumber namun membacanya di Indiepreneur terasa jauh lebih mudah. Saya jadi paham bahwa Twitter tak cuma sekadar sosmed curhat 140 karakter tapi juga bisa dijadikan lahan pemasukan. Apalagi sekarang twitter sudah berbenah dengan beragam fitur baru dan tampilan baru. Pun Facebook dan Instagram yang tak sekadar tempat berkumpulnya para 4L4Y dan jawara selfie.

Menelisik Indiepreneur dan Juru Bicara membuat saya yang dulu bertanya-tanya akan jadi apa Pandji tanpa Rap dan Stendap-nya, kini tak lagi bertanya-tanya. Terlepas dari sepak terjang Pandji sebagai buzzer/jubir (secara harfiah)/ timses Pilkada DKI kemarin, saya yakin Pandji masih bisa hidup walau tanpa Rap dan Stendap sebab ia tak hanya orang yang bisa berkarya namun juga penjual, pemasar, dan penghipnotis masyarakat. Makanya saya yakin kalau beliau join MLM, pasti beliau bisa mendapat banyak downline karena Pandji tau bagaimana memasarkan produknya, pakai sosmed apa, interaksinya yang menarik seperti apa, dan seterusnya.

Bahkan saya curiga, apakah terlibatnya Tahilalats dalam pemasaran film Insya Allah SAH yang sedang digarap Pandji adalah saran dari Pandji sendiri? Sebab sepertinya sudah bukan rahasia lagi jika komik Tahilalats memiliki banyak penggemar yang segmennya sepertinya cocok dengan film Insya Allah SAH.

Entahlah, saya memiliki banyak keinginan untuk bertanya pada blio, namun yang lebih saya inginkan sekarang adalah: semoga blio tau bahwa liburan ke Lombok bisa berarti banyak bagi pekerja digital macam saya yang tiap hari diberondong target page view dan tuntutan new visitors di web.

Semoga, hadiah #BalasDi18 kali ini menjadi milik saya. Kalau kata netizen milenial kekinian sih, "I need vitamin sea!"
Lagipula tiket Malang-Lombok lebih murah dibanding peserta lain kok, mas. Hihihi

Tapi, apa yang saya tulis tentang Juru Bicara dan Indiepreneur di atas adalah asli tanpa berusaha menjilat. Saya merasakan sendiri bagaimana dua "buah hati" Pandji yang berkaitan dengan karya dan bisnis ini sangat membantu saya dalam keseharian. Kalau kalian tidak percaya, silakan beli sendiri. Asal jangan dipakai untuk menjual sesuatu yang negatif ya!





-Farida Firdani
Penonton Mesakke Bangsaku, Juru Bicara dan pembaca Indiepreneur.
@FirdaaaFF
Malang, 17 Juni 2017.
#BalasDi18

Dari mbak Tay untuk lelakiku.

  • 0

Meski sudah hampir separuh dekade berlalu, rasanya tetap lucu setiap ingat bagaimana ngeyelnya kamu saat pertama kali putus cinta dulu.

Saran dan fakta apapun yang dilontarkan teman dan gebetan selalu kamu tepis jauh-jauh.

That's okay. Cause when you're fifteen (or another teen-age) and somebody tells you they love you, you're gonna believe them.

Sampai akhirnya, setelah pegel ditarik ulur, kamu sadar bahwa perempuan seperti itu memang nggak layak diperjuangkan. Aku sangat kaget, tapi juga senang bukan kepalang membaca chatmu kala itu.

Finally you realize she doesn't get your humor and your story like I do.

Also there’s a fire inside of you that can’t help but shine through, and she’s never gonna see the light no matter what you do.

Plus she don't know that you've got a smile that could light up this whole town. And I haven't seen it in a while since she brought you down.

But hey, thanks for let me be the one who recycle your broken pieces. You're not fifteen anymore and I am pretty sure you already know what she did to you isn't love at all and she isn't your first love.

You definitely know that what's past is past, mas.

Gini ya rasanya durhaka.

Sebagai seseorang yang selalu cerita apapun ke pasangan, aku merasa amat sangat durhaka jika menyimpan rahasia.

Tapi beberapa hari belakangan ini, ada hal yang terpaksa tak bisa kuceritakan pada lelakiku karena kami telah sepakat untuk saling percaya sehingga aku merasa tak perlu cerita padanya ataupun meminta restunya, ketika hendak merespon obrolan mengganggu dengan seseorang dari masa lalu.

Aku juga tak ingin membawa nama yang sudah menjadi hama ini muncul lagi setelah empat tahun berselang.

Intinya, aku bisa menghadapinya seorang diri karena aku sungguh mengimani kami. 

Aku sangat percaya lelakiku tak sedungu dulu.
Aku juga sangat percaya lelakiku tak sebuta kala pertama ia putus cinta.
Dan aku percaya lelakiku tak seperti keledai yang mudah jatuh dua kali pada pelukan perempuan yang salah.
--Pada pelukan jalang berbalut make-up tebal dan pemburu lelaki berdompet tebal. Hanya memburu. Tak mau berjuang bersama menambah ketebalannya.--

Semoga di balik anggukan kepalanya sore tadi saat mengetahui ada yang kusembunyikan, lelakiku benar-benar paham bahwa tujuanku memutuskan diam ialah untuk menjaga ketenangan kami.

Aku memilih diam untuk menjaga ingatan lelakiku dari masa lalunya yang tak bahagia bersama dia.

Aku tak ingin harga dirinya terluka untuk yang kesekian kali sehingga ia secara tiba-tiba mendaftar MLM biar bisa dapat kapal pesiar atau bertapa di coban pesugihan demi membuktikan pada jalang yang satu itu kalau dia bisa punya banyak materi, dan bukan cuma materi stand up comedy.

Aku tak ingin dia mengingat bagaimana dirinya dibuang karena bagi perempuan itu, seorang writer tak sekeren dokter. How he being replaced not for someone better, but richer. Pun bagaimana si jalang  membuangnya demi seseorang yang (pada saat itu) punya kerjaan lebih mapan dan roda lebih banyak saat menjemputnya kencan sementara lelakiku baru skripsian.

Biarlah. Biarlah. Biarlah.
Biarkan ia terjebak stereotype ala orang tua kolot bahwa sukses itu bila jadi PNS, Dokter, atau Angkatan.
Biarlah ia jadi perempuan yang dipelihara lelaki karena yang ia tahu hanya duduk manis, menunggu disuapi karena tak bisa masak, dan menunggu diajak jalan-jalan lalu berusaha lari kala tuannya tak kaya lagi.

Bicara kaya, lelakiku mungkin memang tak kaya raya. Tak tajir melintir yang jumlah 2,5%-nya saat zakat setara dengan gaji UMR buruh satu pabrik. Tapi itu bukan masalah karena ia juga punya gelar sarjana dan mau berusaha. Tak hanya pasrah menunggu dicari kerja. Dia mau mencari, dan aku mau menemani. Aku tak lari saat lelakiku kesusahan dan datang lagi saat ia sudah berada di puncak kejayaan.
Tidak. Aku tak sama seperti si jalang.

Lelakiku anak rumahan. Tak bisa mengikuti lifestyle mbak-mbak-hedon yang betah keliling mall selama berjam-jam. Kalau kami kencan ke mall, ia slalu mojok nyari colokan dan lanjut bekerja sementara aku yang survey lapangan terlebih dulu. Ia baru akan ikut jalan-jalan setelah aku laporan ada satu dua barang yang cocok untuk dirinya. Alih-alih ke mall, kami lebih suka shopping ke sekenan yang jauuuuuuuuuh lebih murah dan tempatnya gak terlalu luas untuk dijelajah tapi koleksinya gak kalah mewah. Atau yang favorit: movie-date di rumah sambil makan indomi kuah.

Lelakiku juga tak pergi ke sebuah Cafe hanya untuk berfoto di tempat yang harga air mineral ukuran kecilnya saja bisa untuk membeli 3 air mineral ukuran seliter, demi terlihat kekinian. Kami lebih suka menggunakan uang kami untuk makan di tempat murah tapi porsi kuli atau mengalokasikan dana untuk modalku masakin dia. Tenang, rasanya sama seperti masakan kafe dengan harga air mineral yang mahal tadi, kok.

Lelakiku cuma punya kendaraan roda dua. Tapi meski kami sering kehujanan, kepanasan, kecipratan air kubangan dan baju kami basah kuyup ra karuan, toh kami tetap bisa bermesraan.
Hm. Sesekali kami juga nggrundel, sih. Tapi grundelan itu menjadikan kami ingin berjuang untuk meraih hidup yang lebih baik bagi kami berdua. Bukan yang lantas pergi nyari om-om atau tante-tante kaya dan minta mobil seketika.

Biarlah. Biarlah. Biarlah.
Melihat obsesinya, jalang itu mungkin akhirnya akan menikah dengan masinis karena kereta api adalah kendaraan dengan roda terbanyak.

Ia akan selalu mencari seseorang yang lebih dan tak mau capek-capek berusaha mengubah kekurangan pasangan jadi kelebihan.

Last but not least, dear my dearest..
You deserve someone better than her. You deserve me. And I wont let you fight too hard for our future because that's not what partner for.


-Malang, 13 Januari 2017.
With maturity, sanity and love;
FF.

Apakah esok pasti jumpa?

  • 1

2016 sungguh menyedihkan!
Bukan karena Trump terpilih jadi presiden atau Ahok yang disudutkan netizen dan fenomena "om telolet om" menjadi viral. Bukan pula karena perdebatan gambar pahlawan di uang kertas maupun paham auto-kafir akibat main Pokemon Go.

Semua hal di atas ataupun semua putus cinta yang kita alami di 2016 tidak lebih menyedihkan dibanding putusnya duo nelangsa riang Banda Neira. Mereka pisah ranjang, dan sepertinya tidak akan rujuk lagi. Padahal masih banyak buah hatinya di luar sini yang belum merasakan belaian musiknya secara langsung. Masih banyak yang ingin tidur sambil ditimang suara merdu Rara Sekar serta genjrengan syahdu Ananda Badudu.

Mungkin terdengar berlebihan, tapi saya yakin tak ada yang salah dari menangisi kepergian Banda Neira. Seperti cuitan Arman Dhani di akun twitternya: "Really man, if you can't appreciate other people's feelings, just keep your mouth shut. Some people find solitude and helps in songs."

Saya pribadi masih ingin melahap beberapa senja sambil mendendangkan Senja Di Jakarta sampai mereka mungkin menciptakan lagu Senja Di Kota Malang, ataupun kota tempatmu tinggal.

Saya juga masih ingin jejingkrakan Di Atas Kapal Kertas, atau menangis tersedu saat membayangkan diri saya sudah jadi seorang ibu, yang sedang termenung Di Beranda kala anaknya pergi merantau.

Saya masih ingin diajak tersesat Ke Entah Berantah. Merasakan seberapa saru-nya nikmat dan lara, serta perasaan tak jelas pada lelaki yang menemani saya menonton konser Banda Neira di Taman Krida Budaya Malang kala itu, atau pada teman dekat yang meninggalkan seribu teka-teki seiring kepergiannya ke kampung halaman nun jauh di sana.

Saya yakin, saya bukan satu-satunya orang yang merasa dipeluk saat mendengar Banda Neira bermusik.

Banda Neira tak hanya menulis lagu. Mereka menulis kehidupan dan meringankan beban. Menyuarakan perasaan namun tak terkesan sedang melakukan pemberontakan.

Setiap kali saya ingin menyerah pada kerasnya hidup, pada kehilangan, dan baru saja mengalami kesia-siaan, Banda Neira meyakinkan saya bahwa yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Dan yang sia-sia, akan jadi makna.

Setiap kali ada godaan dalam hubungan, Banda Neira selalu berhasil menenangkan dan membuat saya ingin bertahan sampai kami jadi debu. Berada di liang yang satu, atau di sampingmu, mas.

Dalam hal yang remeh seperti datangnya mendung, Banda Neira juga mampu mengusir gusar dan bilang bahwa mungkin pelukis langit sedang terburu-buru. Semoga putusnya mereka bukan merupakan sebuah keburu-buruan seperti sang pelukis langit, ya!

Selain itu, Banda Neira juga mengajarkan kita untuk legowo. Seperti menanam Bunga; tak semua yang kita tanam akan kita tuai. Yang menanam si pemilik rumah, yang metik malah si laki-laki yang mau nembak gebetan tapi nggak punya duit buat beli mawar.

Tapi meski ber-genre nelangsa, Banda Neira tetap mengajarkan kita untuk berani mengutarakan pemikiran. Melakukan pergerakan dan tak hanya memendam dalam-dalam. Sebab kata mereka, hari ini tak akan kau menangkan, bila kau tak berani mempertaruhkan.

Meski Banda Neira awalnya hanya merasa seperti pasukan Mawar yang datang laiknya angin di dunia permusikan, tapi saya tidak akan lupa bagaimana solidnya musik yang disuguhkan mereka. Dan saya yakin, satu Konser Paripurna keliling Indonesia akan membuat Banda Neira lebih abadi.

Saya tidak akan lupa bagaimana dulu, Rara Sekar sangat bersemangat loncat-loncat di panggung Taman Krida Budaya Malang karena pingin beraksi seperti anak band. Saya ikut loncat dan girang lihat kekocakan mbak Rara kala itu.

Saya juga masih ingat betapa kagumnya saya pada Ananda Badudu yang merupakan seorang jurnalis, sebab menjadi jurnalis adalah impian saya sedari kecil. Pun masih segar di otak saya bagimana berbinarnya bola mata ini waktu pertama kali menelisik tagar #RaraBenHalal.

Bagi seseorang yang nggak mau tau kehidupan pribadi seniman karena takut mempengaruhi penilaian saya pada karyanya, Banda Neira merupakan sebuah pengecualian. Saya yakin mereka adalah pribadi yang baik dan bersinar dengan caranya sendiri. Meski mungkin Rara nggak se-famous adiknya dan nggak jadi brand ambassador smartphone, atau Ananda Badudu yang nggak pernah digosipin aneh-aneh sama Lambe Turah maupun bikin berita hoax kalau om telolet itu konspirasi Yahudi. Saya yakin mereka punya pertimbangan dan tujuan baik untuk membubarkan Banda Neira dan bukan hanya mencari sensasi semata.

Terima kasih sudah menegarkan saya waktu ditempa kalut dan lelakiku benar-benar di ujung tanduk kala itu, Banda Neira. Banyak interpretasi dalam lagu ini, tapi yang paling berbekas ialah ketika kepercayaan kami terkoyak dan kisah kami hampir jadi sekisah tanpa cerita.

Kini, bagaimana saya dan juga penggemar Banda Neira lainnya bisa berjalan lebih jauh kalau Banda Neira sendiri memutuskan untuk berhenti?

Mungkin kami semua harus yakin bahwa esok kita pasti jumpa dan hanya perlu mengingat Banda Neira di saat dia tak ada.
"Tuk mengingatnya di saat dia tak ada.
Sebab esok pasti jumpa."
Bukan begitu, Banda Neira?

Tapi bagaimana pun kami menegarkan hati, frasa nelangsa riang kini hanya tersisa nelangsa-nya saja. Tanpa riang.

-Malang, 23 Desember.
Menulis setelah menangis semalam suntuk kayak diputusin pacar untuk yang pertama kali, tepat 10 menit setelah pengumuman putusnya Banda Neira.-

Aku pacaran dengan Tuhan

  • 0

Pacarku mungkin teman cangkruk Tuhan.
Sebab ia selalu menunda pekerjaan seperti mendapat bocoran bahwa hari esok masih ada.

Pacarku mungkin titisan Tuhan.
Sebab ia dengan senang hati menyianyiakan hari ini seakan sudah tau bahwa di masa depan ia akan sekaya selebriti.

Pacarku sepertinya jelmaan Tuhan.
Sebab ia gemar sekali berkata "Next time deh" atau "Gampang lah, kayak besok ga ada waktu aja" pada beberapa pertemuan dengan keluarga, kolega, maupun kekasihnya.

Tak salah lagi.
Pacarku pasti seorang Tuhan.
Ia bisa dengan mudah menunda segala sesuatu karena tau dirinya abadi.

Baginya, umur koleganya di kampus masih cukup untuk beribu-ribu kerja kelompok dan presentasi lagi.

Baginya, umur kedua orang tuanya masih cukup untuk mendengar tangisan cucu mereka dan turut membesarkannya bersama kami sampai cucu ini punya cucu lagi.

Dan mungkin bagi pacarku, umurku sama abadinya seperti dia sehingga ia tak masalah kehilangan beberapa kesempatan bertemu denganku.

Aku sih sangat berharap pacarku benar-benar seorang Tuhan.
Sebab jika ia Tuhan, permintaanku untuk menghidupkan kembali papa pasti sanggup dikabulkan sehingga aku bisa hidup enak dengan tidak menghargai waktu maupun tidak takut kehilangan, seperti yang sudah dilakukannya.

Atau mungkin, ia bisa memindahkanku dengan papa di atas sana supaya di bawah sini aku tidak harus menjadi seseorang yang sangat menghargai pertemuan namun seringkali diremehkan dengan banyaknya penundaan.

Tapi jika pacarku bukan seorang Tuhan, semoga ia tak harus merasakan kehilangan yang sangat menyakitkan sebelum akhirnya ia bisa menghargai sebuah kehadiran.



Malang, 9 November '16.

Dari gadis yang berusaha dewasa dengan tidak mengutuk orang-orang yang tlah berlaku buruk padanya,

Teruntuk siapapun yang gemar menyia-nyiakan kehadiran orang tersayang dihidupnya.