Apakah esok pasti jumpa?

  • 1

2016 sungguh menyedihkan!
Bukan karena Trump terpilih jadi presiden atau Ahok yang disudutkan netizen dan fenomena "om telolet om" menjadi viral. Bukan pula karena perdebatan gambar pahlawan di uang kertas maupun paham auto-kafir akibat main Pokemon Go.

Semua hal di atas ataupun semua putus cinta yang kita alami di 2016 tidak lebih menyedihkan dibanding putusnya duo nelangsa riang Banda Neira. Mereka pisah ranjang, dan sepertinya tidak akan rujuk lagi. Padahal masih banyak buah hatinya di luar sini yang belum merasakan belaian musiknya secara langsung. Masih banyak yang ingin tidur sambil ditimang suara merdu Rara Sekar serta genjrengan syahdu Ananda Badudu.

Mungkin terdengar berlebihan, tapi saya yakin tak ada yang salah dari menangisi kepergian Banda Neira. Seperti cuitan Arman Dhani di akun twitternya: "Really man, if you can't appreciate other people's feelings, just keep your mouth shut. Some people find solitude and helps in songs."

Saya pribadi masih ingin melahap beberapa senja sambil mendendangkan Senja Di Jakarta sampai mereka mungkin menciptakan lagu Senja Di Kota Malang, ataupun kota tempatmu tinggal.

Saya juga masih ingin jejingkrakan Di Atas Kapal Kertas, atau menangis tersedu saat membayangkan diri saya sudah jadi seorang ibu, yang sedang termenung Di Beranda kala anaknya pergi merantau.

Saya masih ingin diajak tersesat Ke Entah Berantah. Merasakan seberapa saru-nya nikmat dan lara, serta perasaan tak jelas pada lelaki yang menemani saya menonton konser Banda Neira di Taman Krida Budaya Malang kala itu, atau pada teman dekat yang meninggalkan seribu teka-teki seiring kepergiannya ke kampung halaman nun jauh di sana.

Saya yakin, saya bukan satu-satunya orang yang merasa dipeluk saat mendengar Banda Neira bermusik.

Banda Neira tak hanya menulis lagu. Mereka menulis kehidupan dan meringankan beban. Menyuarakan perasaan namun tak terkesan sedang melakukan pemberontakan.

Setiap kali saya ingin menyerah pada kerasnya hidup, pada kehilangan, dan baru saja mengalami kesia-siaan, Banda Neira meyakinkan saya bahwa yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Dan yang sia-sia, akan jadi makna.

Setiap kali ada godaan dalam hubungan, Banda Neira selalu berhasil menenangkan dan membuat saya ingin bertahan sampai kami jadi debu. Berada di liang yang satu, atau di sampingmu, mas.

Dalam hal yang remeh seperti datangnya mendung, Banda Neira juga mampu mengusir gusar dan bilang bahwa mungkin pelukis langit sedang terburu-buru. Semoga putusnya mereka bukan merupakan sebuah keburu-buruan seperti sang pelukis langit, ya!

Selain itu, Banda Neira juga mengajarkan kita untuk legowo. Seperti menanam Bunga; tak semua yang kita tanam akan kita tuai. Yang menanam si pemilik rumah, yang metik malah si laki-laki yang mau nembak gebetan tapi nggak punya duit buat beli mawar.

Tapi meski ber-genre nelangsa, Banda Neira tetap mengajarkan kita untuk berani mengutarakan pemikiran. Melakukan pergerakan dan tak hanya memendam dalam-dalam. Sebab kata mereka, hari ini tak akan kau menangkan, bila kau tak berani mempertaruhkan.

Meski Banda Neira awalnya hanya merasa seperti pasukan Mawar yang datang laiknya angin di dunia permusikan, tapi saya tidak akan lupa bagaimana solidnya musik yang disuguhkan mereka. Dan saya yakin, satu Konser Paripurna keliling Indonesia akan membuat Banda Neira lebih abadi.

Saya tidak akan lupa bagaimana dulu, Rara Sekar sangat bersemangat loncat-loncat di panggung Taman Krida Budaya Malang karena pingin beraksi seperti anak band. Saya ikut loncat dan girang lihat kekocakan mbak Rara kala itu.

Saya juga masih ingat betapa kagumnya saya pada Ananda Badudu yang merupakan seorang jurnalis, sebab menjadi jurnalis adalah impian saya sedari kecil. Pun masih segar di otak saya bagimana berbinarnya bola mata ini waktu pertama kali menelisik tagar #RaraBenHalal.

Bagi seseorang yang nggak mau tau kehidupan pribadi seniman karena takut mempengaruhi penilaian saya pada karyanya, Banda Neira merupakan sebuah pengecualian. Saya yakin mereka adalah pribadi yang baik dan bersinar dengan caranya sendiri. Meski mungkin Rara nggak se-famous adiknya dan nggak jadi brand ambassador smartphone, atau Ananda Badudu yang nggak pernah digosipin aneh-aneh sama Lambe Turah maupun bikin berita hoax kalau om telolet itu konspirasi Yahudi. Saya yakin mereka punya pertimbangan dan tujuan baik untuk membubarkan Banda Neira dan bukan hanya mencari sensasi semata.

Terima kasih sudah menegarkan saya waktu ditempa kalut dan lelakiku benar-benar di ujung tanduk kala itu, Banda Neira. Banyak interpretasi dalam lagu ini, tapi yang paling berbekas ialah ketika kepercayaan kami terkoyak dan kisah kami hampir jadi sekisah tanpa cerita.

Kini, bagaimana saya dan juga penggemar Banda Neira lainnya bisa berjalan lebih jauh kalau Banda Neira sendiri memutuskan untuk berhenti?

Mungkin kami semua harus yakin bahwa esok kita pasti jumpa dan hanya perlu mengingat Banda Neira di saat dia tak ada.
"Tuk mengingatnya di saat dia tak ada.
Sebab esok pasti jumpa."
Bukan begitu, Banda Neira?

Tapi bagaimana pun kami menegarkan hati, frasa nelangsa riang kini hanya tersisa nelangsa-nya saja. Tanpa riang.

-Malang, 23 Desember.
Menulis setelah menangis semalam suntuk kayak diputusin pacar untuk yang pertama kali, tepat 10 menit setelah pengumuman putusnya Banda Neira.-

1 komentar: