Ada yang bertanya, hal apa yang paling ku benci setelah kehilangan, lapar, dan kesepian ; jawabannya adalah kebohongan dan ingkar janji.
Tapi, kupikir semua orang di dunia ini juga pasti benci kebohongan. Tak ada yang suka diingkari dan dibohongi. Tak ada.
Kalaupun ada, berarti ia adalah se-ingkar ingkar nya orang yang gemar ingkar janji.
Kini, aku yang bertanya ; bagaimana responmu, jika ia yang kau cinta ternyata sudah berkali-kali menyanggupi, namun berkali-kali pula mengingkari?
Meradang kah kamu? Atau kamu santai-santai saja dan bersikap seperti tak ada kesalahan apa-apa yang terjadi.
Kalau iya, sudah kali berapa kau berpura-pura dan membohongi amarahmu sendiri?
Sering? Sesering apa hingga akhirnya kamu terbiasa?
Oh. Tidak terbiasa, ya? Apa? Terpaksa hingga akhirnya mati rasa?
Kalau begitu, tenang. Kamu tak mati rasa sendirian.
[]
Apa sifat terburuk mu nomer satu? Orang bilang, aku adalah pribadi yang sukar memaafkan dan pembenci ulung, jawabku.
Lantas, mengapa semudah itu kau memaafkan ia yang melakukan hal yang paling kau benci setelah kehilangan, lapar, dan kesepian ; Ingkar dan bohong. Mengapa?
Ntahlah. Aku lebih memilih diam dan menunggu nya untuk bercerita sendiri padaku, nanti.
Meskipun nanti yang kau tunggu itu tak kunjung datang, kan?
"Iya".
"Tenang. Kau tak menanti 'nanti' mu sendirian", ujarnya.
[]
Apa saja ingkar yang sudah ia langgar? Tanyaku.
Ntahlah. Terlalu banyak. Aku sampai lupa sudah kali keberapa ia mengoyak percayaku.
Namun lagi-lagi, kau pasti menjahitnya kan? Walau dengan tangan berlumur darah hasil mengusap muka ; karena airmatamu sudah kering kerontang.
Iya. Aku kecanduan dirinya.
"Tenang. Tak hanya percaya mu saja yang dikoyak-koyak. Tak hanya airmatamu saja yang mengering hingga kini serupa darah. Dan tak hanya dirimu yang disiksa candu. Akupun." Jawabku.
[]
Ada apa? Wajahmu kelabu sekali. Lebih kelabu dari langit desember, dan lebih kelabu dari seragam abu-abu mu. Ada apa?
"Aku letih. Ia berulah lagi", jawabku.
"Mau cerita? Atau butuh peluk? Oh. Aku lupa. Kau terbiasa memeluk dirimu sendiri, kan? Haha." Ledeknya padaku.
"Tak lucu!", hardikku kasar.
Baiklah. Maaf. Ada apa?
"Ia ingkar! Ia belum menyelesaikan apa yang ia janji untuk selesaikan! Aku masih melihat beberapa potret wanita jalang itu di lini masa nya. Pun beberapa pesan singkat yang tak benar-benar singkat.", jawabku
Lalu? Apa yang kau perbuat?
"Melakukannya dengan caraku sendiri. Aku terpaksa harus turun tangan."
Dasar wanita keras kepala dan nekat! HAHAHA. Sudah kuduga kau akan turun tangan sendiri pada akhirnya. Eh, tapi apa ia tak sadar?
"Tidak. Ia terlalu menyepelekan hal-hal yang baginya kecil ini. Namun, sekecil apapun, duri tetaplah duri. Jika aku tertusuk, aku tetap berdarah. Dan ia tak melihat darah yang mengalir dari luka yang ia sebabkan atas kebiasaannya menyepelekan sesuatu. Ia memang tak peka." keluhku.
"Tapi kau sayang padanya, kan?" Godanya.
Tentu saja! Dengan sepenuh hati. Aku menyayangi kebodohan dan kelebihannya. Namun aku juga benci mengapa ia sebodoh itu sampai tak paham hal apa saja yang tak kusuka. Aku mencintai lelaki lugu itu dengan sebegitu rupa. Aku benci perasaan tak ingin kehilangannya, padahal ia sudah berkali kali menyakiti. Aku benci diriku yang begitu mencintainya.
"Lelaki memang begitu. Kau tak keras kepala dan egois, kok. Kau hanya menagih apa yang tak kunjung ia lunasi.
Oh! Perihal tertusuk duri, tenang.. Kau tak seorang diri!" ujarnya sambil tersenyum padaku.
[]
Matamu, kenapa?
Jadi gemuk begitu? Kau tak tidur semalaman?
"Tak tertidur karena menangisinya semalaman, lebih tepatnya." jawabnya.
Menangis karena?
"Karena ujarnya, tak akan pernah ada 'KAMI' di hari esok. Ia takut bertaruh tentang 'kami', jika jarak lah yang menjadi pemegang taruhan terbesar.
Ia, takut dikalahkan jarak, lagi."
"Persetan dengan jarak, umur, atau agama!
Bilang padanya, jika memang ia mencintaimu, harusnya ia tau kalau setiap orang diciptakan berbeda beda. Tak ada kisah cinta yang sama persis! Harusnya ia memperjuangkanmu! Perihal apa yang terjadi esok, kalian harusnya menghadapi itu bersama. Bukan menghakimi sepihak!
Kalau ia memang mencintaimu, harusnya ia meninggalkan pijakan lamanya, dan mulai berpijak padamu. Membangun rumah baru yang lebih nyaman, bersamamu!
Bilang padanya, cinta ada untuk mendekatkan, dan menyatukan yang berbeda. Kalau ia mencintaimu, harusnya ia tak takut memperjuangkanmu. Dan berjuang bersamamu. Harusnya." jawabku sambil berapi-api.
"Iya. Aku tau. Aku juga tak mau jika harus berjuang seorang diri." jawabnya pasrah.
Kenapa terdiam? Apalagi yang kau pikirkan? Ia ingkar lagi?
"Tidak. Aku hanya berpikir, apapun alasannya. Aku berharap, semoga ia tak berbohong lagi. Aku sudah terlalu letih.
Dan tentang bagaimana hari-hari kedepan.. Apapun itu, aku berharap itulah yang terbaik untukku, untuknya, atau untuk kami." jawabnya sembari tersenyum.
"Tak usah pura-pura tersenyum. Menangislah. Kau takkan menangis seorang diri. Ada aku. Menangislah sepuasmu. Asal jangan pernah menangis di depannya!" :)
[]
((bip bip))
Ada sms masuk.
Akupun tersadar dari lamunan panjangku. Aku beralih dari depan cermin, dan menghapus sisa airmata ku sembari menaruh sisir yang sedari tadi ku cengkram kuat-kuat.
Perdebatan dengan diriku pun berakhir. Berakhir untuk hari ini.
Esok, saat selesai beraktifitas seharian penuh. Selalu sama. Aku akan termenung dan menangis tanpa suara sambil bercermin membersihkan debu jalanan yang menempel di wajahku setelah seharian berada di luar rumah.
Selesai membersihkan wajah dan menyisir rambut, kubuka pesan singkat yang tadi membuyarkan lamunanku. Ternyata darimu :
"Selamat malam, mimpi indah :) Aku sayang kamu :*"
"Nite! Syg km juga! :*" Balas ku sambil tersenyum.
Malang, 22 Desember 2013.
Ditulis dengan iseng (sambil mendengarkan You-nya Ten2Five) guna mengusir sepi, karena sesorean ini tidak terlalu banyak bercakap denganmu.
-Farida Firdani-
@FirdaaaFF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar