Teruntuk Kuas dan Kanvasku, aku mengirimkan surat di hari ke-5 ini untuk kalian.
Walau aku tau, surat ini tak akan pernah sampai, dan tak akan pernah kalian baca. Tapi aku tetap ingin berterimakasih pada kalian yang sudah (pernah) menemani, dari awal aku merengek-rengek meminta kehadiran kalian, hingga kalian tergeletak dan terabaikan.
Aku ingin berterimakasih pada kalian yang sudah (pernah) menemani, dari awal helai demi helai bulu mu masih halus, sampai kini telah tandus -- Dari kamu yang putih polos, sampai kini berisi warna warni yang mampu membuat orang melengos.
Yang telah menemani, dari awal aku mengenakan seragam putih biru, hingga kini aku sudah memasuki tahun kedua akhir masa putih abu-abu.
Terimakasih sudah menemani, dan tetap membantu sekalipun kalian tak sama seperti kali pertama kita bertemu, dulu.
Banyak yang berubah. Bentukmu, kegunaanmu, pun hidupku dan juga diriku.
Walau sudah tak lagi berbulu, tapi kamu masih berguna.
Sesekali kujadikan tusuk saat menggulung rambut, misalnya.
Hehe.
Pun kamu; kanvas yang sudah penuh coretan, dan sapuan cat diseluruh permukaanmu.
Aku bukanlah orang yang terlalu paham seni lukis dan menyembah-nyembah keindahan tiap warna yang tertuang didalam lembar persegi panjang mu itu, tapi kamu tetap berguna. Meski bukan untuk ku kagumi keindahannya, hadirmu disudut kamar mengingatkan ku pada tangan-tangan yang pernah membantu ku menyelesaikan tiap inchi tubuhmu. Tangan-tangan penuh kenangan dan pelajaran.
Dulu, kamu berguna untuk menjadi alasanku yang gemar menyita waktunya tiap siang sepulang sekolah.
Kini, kamu masih tetap berguna. Tapi tak lagi untuk menyita waktunya, namun untuk sekedar mengingatkanku bahwa aku pernah hidup pada suatu masa, yang kini tak bisa lagi kukendalikan. Dan tak ada gunanya jika aku masih bertahan pada setangkup penyesalan.
Dulu, aku begitu takut saat harus memilih warna cat untuk disapukan pada inchi demi inchi mu. Sama seperti aku yang takut saat harus memutuskan, hingga akhirnya terjebak sendiri dalam sebuah kepura-puraan yang mengatasnamakan kasih sayang dalam sebuah hubungan.
Kini, aku tak takut lagi jika disuruh mewarnaimu. Tak takut lagi untuk memutuskan, dan tak takut lagi untuk mengesampingkan belas kasihan. Persetan dengan belas kasihan! Kau bukan pengemis cinta dalam sebuah hubungan kan, Tuan?
Hm. Maaf terlalu terbawa emosi karena ingat kebodohan-kebodohan akibat ketidakberanian ku, dulu. Tapi memang, hidup itu seperti lukisan. Hanya memiliki satu kali kesempatan dan tak mengenal 'penghapus' atau 'mbalen' dalam pengerjaannya. Ia butuh kanvas sebagai 'wadah' yang bisa menerima baik-buruk hasil karyanya, dan kuas untuk menyelesaikan dan memperindah-nya. Mereka, saling melengkapi dan memperbaiki.
Pun hidup. Hidup cuma satu kali, jadi, 'lukis'lah yang berarti. Tak ada reka ulang, atau 'penghapus' selama perjalanannya. Ia juga butuh kanvas sebagai 'wadah', namun dalam wujud yang berbeda. Yang bisa menerima baik-buruk kelakuannya. Sahabat dan rumah, mungkin? Pun butuh kuas, untuk menjejakkan tiap putusan agar tak ada yang disia-siakan. Kuas dalam wujud keyakinan atas kemampuan diri sendiri, dan kemauan untuk bangkit sekalipun tertatih, mungkin? Ntahlah. Yang jelas, mereka saling melengkapi dan memperbaiki, demi melukis hidup yang cuma satu kali ini.
Tak perlu membalas suratku. Karena kalian sudah memberi pelajaran dan kenangan yang lebih dari indah, dan lebih dari cukup.
Malang, 5 Februari 2014.
#30HariMenulisSuratCinta hari ke-5
@FirdaaaFF
-Farida Firdani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar