Dua hati yang berikrar sehidup semati duduk bersebelahan.
Sibuk sendiri dan tak ada tegur sapa.
Mencoba menggelayut di lengan, tapi bernasib seperti lintah.
Kalau tak diabaikan, ya disibakkan dengan pandangan jijik.
Raga kita hanya seperhembusan napas, tapi rasanya kita seperti berbeda semesta.
Tak saling jangkau, padahal kau begitu mudah diraih.
Hanya dengan satu rengkuhan ringan seperti mencabut daun luntas.
Ragaku hilang arah.
Tempat teduh dimana aku biasa berbaring dan memuntahkan air bah, kini menjelma menjadi padang pasir.
Yang gersang dan tak layak disandari atau sekedar disinggahi.
Menjelma menjadi karang yang tajam dan mampu mengoyak kewarasan diri.
Pedih tak dipedulikan.
Sedih diabaikan.
Ada yang mengendur seperti ikat rambut murahan yang dijual abang-abang serba seribu;
genggaman tanganmu yang tak lagi cekat menyambut jemariku.
Dua hati yang bersebelahan, namun serupa orang yang baru merasakan perihnya perpisahan, dan lupa caranya bercakap atau sekedar melempar senyum penuh keikhlasan.
Jauh yang sebenarnya, adalah kita.
27 Juni 2014.
Jum'at siang yang penat di sofa ruang tengah, namun bukan saya yang punya rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar