Perayaan Kecil Di Atas Pasir

  • 0

Terjebak pada siang terik yang hingar bingar dan teriakan supir angkot mengumpat penat.

Pada sore yang tak tenang dan membuat tidur siang jauh dari nyenyak.

Serta malam yang terlalu dingin sampai membuatmu terpaksa memeluk dirimu sendiri.

Mari kita bayangkan.

Bayangkan, langit pagi berhias burung kuntul dan aroma nutrisari hangat yang masih berasap laksana kereta uap.

Atau langit siang dengan awan yang berombak-ombak.
Membuatmu bebas berlayar dengan perahu abu-abu hasil udara residu.
Lalu terhempas ke sebuah padang ilalang dengan setangkup kacang dan sebotol bir di tangan yang mampu mengusir gundah.

Masih belum cukup meriah?

Bayangkan langit malam terhampar tanpa light pollution dari gedung-gedung pencakar.
Lalu satu dua hingga tak terhingga bintang-bintang yang berpendar kemudian jatuh terkapar.
Langit tak berselimut.
Membuatmu mampu mengeja di mana letak sabuk Orion dan mengintip Centaurus.
Kau tanpa alas kaki, tanpa sepatu, dan tanpa malu bertelanjang pada bumi.
Pasir menggelitik di bawah kakimu, karang mengoyak lututmu.
Perih, namun sakitnya terlebur oleh tawa kekasih.

Apa? Masih saja kurang meriah?

Mintalah kembang api, atau pemantik api.
Menjelma lah jadi kereta api kesukaanmu yang perlahan menggerogoti dirimu sendiri hingga mati.
Kau boleh meminta lebih banyak bintang jatuh.
Sleepingbag yang lebih tebal seperti logikamu yang bebal.
Atau sebuah kecup dan peluk pereda singup dan sumuk.

Kau boleh meminta apa saja.
Nasi, pop mie, setapak sriwedari, permen kaki, apapun.
Toh ini semestamu sendiri.
Toh ini perayaanmu sendiri.
Asal jangan minta emosi atau coba-coba meludahi harga diri.

23 Juni 2014.
-Farida Firdani-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar