Dewasa kini, kita sering sekali mendengar keluhan seperti itu. Keluhan, dari mereka yang masih harus remedial dalam hal bersyukur.
Lima puluh ribu memang hanya punya nol empat, dan bisa habis dalam sekelebat. Tapi apa kau tau? Bagi sebagian orang yang harus naik turun gunung dan memanggul beban berat di pundak serta resiko keracunan gas beracun atau terjun bebas jika tergelincir di tebing yang curam lalu nyawanya kembali ke nirwana, lima puluh ribu adalah jumlah yang tidak sedikit.
Bahkan baginya, itu sudah terasa amat sangat legit.
Harusnya, kita; orang kota (yang kemana-mana sudah tinggal starter motor dan membeli bensin yang kini sama mudah dan murahnya seperti isi ulang air mineral) bisa lebih cermat mengolah uang sejumlah itu menjadi sesuatu yang jauh lebih berfaedah.
Apalagi, jika kalian menggunakan Yamaha Fino FI yang tidak gampang 'ngompol' seperti sepeda motor lain yang mengubah lima puluh ribu yang awalnya bisa ngenyangin, malah habis di pom bensin.
Bicara lima puluh ribu, ia memang hanya sepuluh ribu dikali lima, yang mungkin hanya cukup untuk makan 1 kali (dan saya jamin anda masih belum kenyang) di sebuah resto mewah yang bahkan untuk sekedar menyebut menu makanannya saja lidah kita mampu dibuat terengah-engah.
[] [] []
Lalu? Dengan segala keserakahan dan ketidakpuasan manusia jaman sekarang, apa yang bisa kita lakukan dengan uang (yang hanya) lima puluh ribu rupiah?
Jawabanku adalah "Melakukan sebuah 'ritual' yang menyenangkan."
Ritual apa? Dengan cara apa? Bukankah jaman sekarang hal-hal yang menyenangkan itu mahal? "Kata siapa? Coba kamu keluar rumah. Duduklah di teras atau pergi ke ujung gang yang bermuara pada jalan raya." "Atau parkir motormu di parkiran sebuah pertokoan, lalu masuklah ke pertokoan itu. Datangi foodcourt area atau area bermain anaknya atau sekedar duduk-duduk saja dipelatarannya.", lanjutku menerangkan pada Leffi.
Leffi pun tertawa satu-satu. Tawa yang kubenci karena itu artinya adalah 'tawa meremehkan.'
Apa yang kau dapat dari duduk diammu itu, hah? "Aku mendapat banyak pelajaran tentang kehidupan dan juga kebahagiaan dari duduk diamku yang kau remehkan itu. Aku menutup telinga dan mata dari teriakan penjaja pakaian kekurangan bahan yang sedang diskon besar-besaran dan membuka mata serta telingaku untuk mengamati lebih banyak apa-apa yang tak dilihat orang lain karena mereka terlalu menghambur-hamburkan fokus juga uang mereka."
Maksudmu? "Seperti pepatah lama, Leffi, 'Gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi semut di seberang pulau tampak.'"
Kutoleh Leffi, kerutan di dahinya bertambah banyak seiring dengan makin membludaknya penjelasanku tentang 'Bisa apa aku dengan lima puluh ribu.'
"Maksudku begini, Leffi, seperti pepatah itu; orang kekinian cenderung mengupayakan semua yang mereka punya untuk mencapai sesuatu yang sebenarnya tak terlalu mereka butuhkan. Begitu terus, sampai yang mereka dapat hanya peluh dan tambahan daftar mengeluh."
Jadi maksudmu, mereka menyulitkan dirinya sendiri karena terlalu memaksakan kehendak dan menyia-nyiakan apa yang mereka punya padahal itu bisa untuk sesuatu yang lebih berguna bagi mereka. Begitu?
"Ya! Mereka terlalu menguras tenaga dan mengabaikan apa yang sudah disediakan Tuhan atas apa yang mereka butuhkan, padahal hanya berjarak satu dekapan."
Orang-orang yang gemar mempersulit sesuatu yang sebenarnya mudah seperti mereka, pasti tak pernah mengenal apa itu bimbel primagama atau sejenisnya. Aku tergelak mendengar ocehan Leffi barusan. "Hahaha. Kau benar sekali, Leffi. Untuk senang-senang tak harus mabuk-mabukan hingga sempoyongan saat akan pulang. Untuk kenyang dan sehat, tak harus makan mahal hingga mengurangi jatah tabungan akhirat. Untuk bahagia, kita tak perlu punya segalanya. Cukup dengan menjadi orang yang lebih bersyukur pada hal-hal sederhana di sekitar kita."
Hal sederhana apa yang membuatmu bahagia? "Oh. Bagiku itu sungguh sangat sederhana. Melihat usaha seorang ibu yang kewalahan menenangkan bayi kecilnya yang menangis, bisa jadi salah satunya. Kau akan ikut terhanyut melihat betapa tabahnya Ia, dan perlahan kau akan ikut tersenyum lega saat upayanya akhirnya berhasil. Lalu, saat melihat bibir bayi mungil itu kembali mengukir tawa, percayalah, kau pasti juga ingin tertawa! Bahagia itu menular, Leffi."
Hanya itu? "Tentu tidak. Kau juga bisa melihat bagaimana sepasang kekasih yang tengah bertengkar hebat tapi tangan mereka masih saling menggenggam erat. Lalu betapa lucunya ketika pertahanan Si Perempuan perlahan runtuh dan Ia menumpahkan mendung yang menggelayuti kelopak matanya di bahu lelaki tercintanya. Kau tau, Leffi? Bahwa serumit apapun pertikaianmu dengan pasangan, kau akan terpaksa hingga akhirnya terbiasa memaafkannya. Awalnya kau memang tak akan suka, tapi serumit sesulit atau sesukar apapun saat ini, akan lebih njelimet dan mumet lagi jika pasanganmu tak ada."
Melulu soal cinta. Aku muak. "Dasar rasional yang cerewet! Coba edarkan pandangan. Kau akan menjumpai bapak ibu tua renta yang tak jemu menyapu emperan jalan. Kemudian mengangkut sampah (yang sudah pasti tak seberat beban hidup mereka), ke dalam bak kuning berkarat tiap petangnya. Coba perhatikan mereka, lalu ingatlah keriput-keriput di wajahnya tiap kau akan membuang sampah se-enak udel-mu. Keriput yang membuatmu terkejut atas apa yang ada di baliknya beberapa tahun silam. Banyak rupa-rupa penyesalan, harapan, serta doa-doa yang mampu membuat semangatmu tersulut."
Lalu, apalagi? "Enyah dari hiruk pikuk kota yang membuat kita kikuk, dan menyatu dengan alam. Duduk diam dihempas ombak, terbaring menikmati angin, atau menengadahkan tangan dan kepala saat hujan."
Kau tak bosan? Alamkan tak bisa kau ajak bicara! "Tentulah aku bosan! Aku ini manusia-paling-gampang-bosan-tapi-paling-gampang-pula-hilang-bosannya-di-dunia."
Lalu apa yang kau lakukan saat bosan dengan 'ritualmu' itu? "Aku akan mendatangi penjaja makanan dan minuman di warung atau trotoar untuk memadamkan dahaga dan lapar. Kemudian memberanikan diri untuk bercengkrama dengan mereka. Sssttttt.... kuberi tau satu rahasia! Para pedagang asongan dan rakyat kelas menengah kebawah seperti mereka adalah orang-orang yang handal dan paling ulung jika kau tanyai bagaimana cara menertawakan hidup."
Berapa yang kau habiskan tiap kau melaksanakan ritual aneh tapi banyak benarnya itu? "Oh. Kau hanya butuh total Rp 10.000,- untuk parkir di (kira-kira) 5 tempat perhentianmu. Atau Rp 10.000,- yang tadi bisa kau gunakan untuk naik bis / kereta api, jika kau ingin menjajaki tempat yang agak jauh. Lalu Rp 2.000,- untuk dua kali ke toilet (dan menurutku dua kali itu cukup.) Lalu Rp 4000,- untuk semangkok pangsit dan gratis minum jika kau masa bodo tentang higienitas dan memilih untuk meminta air putih dari ceret abang penjualnya. Jika masih haus, kau hanya butuh seperdua-puluh dari lima puluh ribu (Rp 2.500,-) untuk membeli sebotol air mineral, teh botol, atau es degan.
Silakan hitung sendiri. Kalau tak salah, uang yang terpakai kurang dari 20.000 rupiah, kan? Bagaimana? Tertarik?"
Wah! Tak sampai separuhnya!, ujar Leffi sambil menggebu-gebu.
Jadi, apa saja yang kau dapatkan dengan uang 50.000 rupiah?
Aku mendapatkan perjalanan penuh pelajaran yang tak diajarkan di bangku sekolahan. Pelajaran, untuk memanusiakan manusia dan menjaga agar naluri kita tak cidera karena terlalu sering ingin menang sendiri akibat cara berpikirmu, Leffi; si otak kiri yang selalu takut akan resiko dan kegagalan.
Pun perjalanan, yang walaupun penuh peluh, tapi bisa membuatku lebih irit mengeluh karena orang-orang hebat yang kujumpai selalu melempar kisah dan tatapan yang sangat teduh.
Oh! Dan kembalian sebanyak 30.000 rupiah yang bisa kugunakan untuk isi ulang paket internetan bulanan! :p
Jadi, cobalah untuk menikmati semesta dengan lima puluh ribu yang masih punya sisa, Leffi! :)
-Farida Firdani (@FirdaaaFF)-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar