Lalu Hujan Turun..

  • 0

Gadis kecil merangkai kata dan harapan.
Kepalanya mendongak dan tangannya menengadah.
Ia menghamba pada Tuhan.
Berharap keajaiban atau kembalinya sebuah kebahagiaan.
Karena baginya, tarian hujan tak mampu lagi jadi hiburan atas saratnya beban yang dipanggul pundak mungilnya yang sering sesenggukan.
Lalu hujan turun, di pelupuk mata, tak berkesudahan.

Lelaki wangi cokelat berjalan dengan cepat.
Jemarinya yang kekar dan kasar menari-nari menyeka keringat.
Sayang, langkahnya yang secepat kilat tak sejalan dengan pergerakan otaknya yang ternyata amat sangat lambat.
Sepertinya ia terlihat begitu terburu-buru.
Lalu hujan turun, di pelipis mata menuju dagu.

Malam ini gadis kecil tengah asik bercumbu dengan remah roti.
Berceceran dari anak-anak rambutnya yang hitam legam serupa sepatu kulit lembu yang rajin disemir, hingga kedua tulang pipinya yang menjulang tinggi.
Remah roti terlihat sangat percaya diri karena ia tampil manis melebihi gulali.
Dan ia tau, gadis kecil tergila-gila pada gulali.
Satu gigit, dua, tiga, lalu terhenti di lima.
"Rasanya hambar", ujar gadis kecil yang kini tak lagi ceria dan jadi pendiam seperti orang patah hati.
Lalu hujan turun, membelah bibir merah nan mungil itu dan terus menyusuri lehernya yang mulus.

Lelaki wangi cokelat kehabisan napas.
Sulit baginya memutuskan untuk bersikap apa ditengah keadaan yang sedang tidak pas.
Ia tak mau melepas, namun tak tau pula harus mendahulukan yang mana sebagai prioritas.
Yang ia tau, waktu terus berjalan, berputar, dan bergerak melewati pemberhentian yang sama setiap harinya, sama seperti bis patas.
Lalu hujan turun, menyusuri dadanya yang bidang, tempat gadis kecil biasa melepas berkarung-karung penat sampai tertidur pulas.

Gadis kecil mulai jengah dan lelah.
Semangatnya mulai terengah-engah.
Percaya dan sabarnya kini meronta-ronta akibat terlalu lama menahan gerah.
Lalu hujan turun, di atas gerabah.

Lelaki wangi cokelat sibuk mengumpat-umpat.
Ia tak lagi peduli jika perbuatannya nanti mendapat laknat.
Yang Ia tau, Ia telah lelah mengalah hingga kini toleransinya mulai mengarat.
Lalu hujan turun, tepat di tengah pupil cokelat, dan dingin tetesannya melenyapkan sorot mata yang hangat.

Gadis kecil kini murka.
Tak ada lagi kesempatan kedua, ketiga, atau kesembilan.
Kesempatan bukan sebuah mainan.
Ia langka dan tak seharusnya dihambur-hamburkan.
Lalu hujan turun membelah dada yang sering sesak akibat terlalu banyak menabung luka.

Lelaki wangi cokelat kehabisan amunisi.
Sementara rasa ingin menang sendiri makin gencar menggerogoti.
Di sisi lain, gadis remah roti sedang berkemas-kemas pergi.
Lalu hujan turun, tepat di ulu hati.

[]

Mungkin memang ada yang harus pergi. Ntah karena patah hati, ntah karena yang satu terlalu ingin menang sendiri, atau karena sudah tak sanggup lagi memeluk lebih erat dan sudah ada rasa yang kadaluarsa.

Mungkin lelaki wangi cokelat benar, dan gadis kecil pecinta gulali lah yang sebenarnya tak tau diri.

Mungkin pula lelaki wangi coklat salah dan ia terlanjur lupa diri hingga menyakiti sebelum memahami sepenuh hati.

Yang jelas, tak ada yang bisa mencintai lelaki wangi cokelat setabah gadis kecil perangkai kata yang tergila-gila pada gulali kapas dan hobi tidur pulas.
Tak ada.

Tapi, gadis kecil telah selesai berkemas.
Dan lelaki wangi cokelat masih saja memeluk penat.

Malang, 18 Juni 2014.
Farida Firdani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar