Tersentak kala pagi buta.
Dicekam mimpi buruk perpisahan,
dan rintik-rintik isyarat kehilangan.
Lalu aku terjerembab dari dipan.
Dibekap penyesalan, yang tak tau darimana rimbanya.
Tuk tuk tuk tuk,
gigi bergemeletuk seperti bunyi burung perkutut yang tengah asik mematuk.
Raga, tertekuk.
Aku, diserbu kantuk.
Tuk tuk tuk tuk,
hujan turun satu-satu.
Mengering di muka rumah,
sama seperti gerimis yang mulai mengering di kelopak mata.
Tuk tuk tuk tuk,
suara daun pintu diketuk.
Kulihat di ambang,
ada sesuatu yang menjejak tegak, tapi mengawang.
Ternyata itu ambang yang tertutup Amarah dan bayang-bayang.
Sontak semuanya sunyi,
sedang aku sibuk kelimpungan seperti orang yang mabuk intisari.
Setelah meraba-raba nadi untuk memastikan jantungku tak berhenti,
tiba-tiba kurasakan pedas di pipi kiri.
Ternyata itu bekas tamparan.
Tamparan dari tangan tabah yang telah karatan.
Menghujam Amarah bertubi-tubi seperti langkah sapi yang tengah beradu di karapan.
Amarah sama seperti cinta;
Ia sulit dikendalikan.
Ia tak berhati-hati, dan seenaknya sendiri.
Ia meluap-luap, dan cenderung tak tau arah.
Yang ku tau saat marah, ya marah.
Yang ku tau saat marah, semua tampak salah.
Yang ku tau saat marah, aku serupa bocah kecil yang sedang sakit demam; meracau ngalor ngidul sesuka hati, dan semua kehendakku harus dituruti.
Kemudian kata-kata menjelma lebih tajam dari mata pisau.
Menimbulkan risau,
hingga akhirnya kita tak bisa lagi saling jangkau.
Tak peduli jika mencintaimu kini jadi berkali-kali lebih berat,
karena aku akan memelukmu berkali-kali lebih erat,
berkali-lali lebih lekat.
Sangat erat,
sangat lekat.
Seakan kita tak lagi bersekat.
Malang, 30 Juni 2014.
Hai, @tambahganteng! Bersiaplah menyambut pelukku yang lebih lekat dan lebih erat dari sebelumnya.
Jangan lari, ya! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar