Gumaman di balik sekat dan pelataran.

  • 0

Sekian tahun terlewati,
kini sosokmu hadir lagi membawa tawa yang dulu sempat terganti oleh caci maki.
Membawa separuh hati yang dulu telah mati,
dan sampai sekarang tetap mati.
Tetap mati.

Hari ini, di pelataran rumah bercat putih yang penuh cerita sedih, dua hati yang pernah patah, reflek untuk patuh.
Patuh pada aturan tak tertulis yang selalu dianggap remeh sebagian orang.
Aturan yang akan menyebabkan patah-patah lain jika dilanggar.
Dan tentu saja, keduanya tak ingin itu terjadi.
Keduanya tak ingin menyakiti orang yang kini mereka cintai.

Kalau saja boleh,
cukup singgah di pelataran pun tak mengapa.
Karena sejak tapak pertama di gerbang komplek ini, aku sudah dicecar rikuh yang sungguh.

Tapi mau tak mau, akhirnya kita bersua jua.
Akhirnya kita saling memerhatikan apa saja.
Apa saja.. dari pakaian, postur tubuh, potongan rambut, hingga binar di mata.

Bahu sangkukmu masih tampak sama. Masih membuat dadamu jadi terlihat begitu teduh.
Dagu kotak itu juga masih tetap tak wajar dengan benjolan di sudut kirinya.
Jemarimu juga masih tetap kosong melompong seperti kali terakhir berpagut dengan jemariku.
Jemari yang masih tetap lihai memainkan lagu-lagu kemratak jaman SMP, yang kini jika didengarkan kembali malah membuat kita tertawa terbahak-bahak.

Semuanya tetap sama seperti saat aku dan kamu memutuskan untuk membunuh 'kita' di koridor sekolah sambil diiringi hujan deras petang itu.

Semesta ternyata ikut berduka mengiringi wafatnya 'kita'.

Tapi apa yang tampak di mata, tak sama dengan yang dirasakan hati.

Dan petang ini, kau tak tau betapa senangnya aku saat tau bahwa binar di matamu tak sewarna-warni dulu.
Karena binar di mataku juga sudah terlebih dulu padam, beberapa tahun silam, seperti yang kau dan aku - atau kita - tau bersama.

Aku sungguh senang saat mendengar bahwa telah ada perempuan-perempuan lain yang singgah di hatimu.
Walau sampai sekarang, kau masih bingung siapa yang kemudian kau minta untuk menetap dan tinggal di singgasana, yang dulu juga pernah kutempati itu.

Petang bergulir, dan waktu makan malam pun tiba.
Aku agak terkejut saat kebiasaan lamamu mengacak-acak rambut dan mencubit hidungku mengalir begitu saja sembari mengajakku berpindah dari pelataran menuju meja makan.

Ibumu masih tetap ramah seperti dulu.
Masih tetap menggoda sepasang yang tak lagi Esa ini sambil cekikikan keasikan.

Satu dua suap lenyap dalam bibirku.
Bibir mungil yang tak pernah bosan berceloteh, apalagi ngomel tentang hal hal remeh.
Menyebalkan, tapi sangat dirindukan, katamu.

Adzan menjadi jeda.
Dan disinilah kita,
bersekat kain putih tipis yang membentang di tengah masjid berarsitektur minimalis.

Dari celah sekat itu,
punggung dan dada yang selama ini membusung angkuh terlihat begitu bungkuk.
Pada Tuhan, kau seakan tak malu menunjukkan beban berat di pundakmu.
Tentang kakak lelakimu, tentang impianmu, tentang tujuanmu memeluk islam, dan tentang lain-lain yang akan datang.

Saat tiga rakaat usai, sebagai yang lebih muda kamu pun salim kepadaku.
Di sudut matamu yang sipit itu, kentara sekali ada sisa-sisa air mata.
Bagi yang tak mengenalmu, mungkin itu dikira air bekas wudhu.
Tapi aku tau dengan pasti, itu adalah air mata penuh kelegaan.
Air mata yang sama, yang meluncur saat kau mencurahkan beban-bebanmu padaku.

Tanpa kita sadari, waktu berputar begitu cepat ya, dik.

Dan tanpa kusadari, di balik sekat itu aku masih terus menggumam sembari memerhatikanmu kembali ke tempat lalu menengadahkan tangan mengharap ridhoNya.

Hampir empat tahun silam kita saling terpukau satu sama lain.
Saling bergantung hingga akhirnya tetap saja mutung.

Hampir empat tahun berlalu,
dan kamu masih saja menggoda untuk direngkuh sambil kuajak menghabisi hari untuk bertukar keluh.

Tapi dik, aku harus pulang.
Ada pelataran lain yang lebih ku rindukan.
Rumah bercat putih pula, tapi aku dan orang ini, sedang berusaha agar tak sampai mengisinya dengan kejadian atau cerita-cerita sedih.

Jemarinya tak lincah memetik dawai gitar sepertimu.
Tapi jemarinya lincah menari dan melompat-lompat di atas keyboard.
Dibanding alunan nadamu,
berparagraf-paragraf aksara yang ia tulis juga tak kalah membuat hatiku kebat kebit tak karuan.
Oh, dan suaranya juga tak jelek-jelek amat. Suaranya mampu menghilangkan penat! :)

Dan, dik, dadamu memang tempat (yang dulu) ternyaman untuk ku labuhkan tonjokan gemas, atau menangis sesenggukan saat dapat nilai jelek pas ulangan dan jengkel pada teman.

Tapi kini lelakiku punya dada dan lengan, yang walaupun tak selebar punyamu, tapi sungguh membuatku nyaman dan merasa kembali utuh.

Ia tak jago omong sepertimu, dik.
Yang ia lakukan saat aku menangis hanya mendekapku sampai aku pengap, lalu berhenti menangis dengan sendirinya karena kehabisan napas.
Oh, dan aku sungguh jelek saat menangis, serta tak jelas bicara apa, ujarnya.

Dik, kau tau? Setelah empat tahun berlalu, kelihatannya akan susah menghilangkan kebiasaan ngomel dan marah-marah tak jelasku ini ya?
Tapi setelah kau lihat sendiri tadi, bahwa kini aku lebih banyak diam dan merespon hal-hal bodohmu dengan senyum, kurasa masih ada harapan untukku berhenti cerewet dan menggerutu.

Kalau kau heran mengapa aku berubah, itu karena bibir mungil yang dulu pernah kau benci gara-gara terlalu banyak berceloteh, kemudian jadi bungkam dan kamu merasa kehilangan lalu ocehanku jadi begitu kau rindukan, kini dibenci pula oleh lelakiku.

Baru kali ini aku kapok, dik.
Ntahlah, aku tak berharap setelah aku bungkam ia lantas akan merindukanku seperti kamu merindukan omelan-omelanku dulu atau ia malah merayakannya.

Sekali lagi, ntahlah.

Yang kuharapkan, ia tetap berdiri sigap menjagaku di sisi.
Tidak lari membawa separuh hati yang tak akan pernah mati sekalipun ditinggal pergi.
Tak akan pernah mati.
Tak akan pernah.

Malang,
1 Juli 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar