Percakapan dengan tukang setrum.

  • 0

"Aku percaya kalau tiap individu punya 'senjata' dan 'cara-nya' sendiri, Fir. Kita ga berhak mengevaluasi karena pasti semuanya memiliki kelebihan serta kekurangannya sendiri-sendiri.

Aku malah ga tertarik ngomonginnya. Hehhe."

[Kutipan singkat hasil percakapanku sabtu malam kemarin dengan seseorang yang selalu (atau mungkin sedang mencoba) tabah menjawab berbagai pertanyaanku yang beruntut dan tak berbuntut.
Pertanyaan tentang apa? Tentang apa saja yang terpikirkan olehmu, detik ini. :)))))]

Bersama orang ini, opini tentang : "berbicara, bertukar pikiran, atau berbagi beban dengan orang yang open minded dan lebih dewasa itu sangat menyenangkan", benar adanya.

Orang-orang sejenis ini bisa jadi tukang setrum semangat yang sangat ku kagumi dan tukang ngomel yang sangat ku benci karna kata-kata atau pengabaiannya kadang bikin clekit-clekit di hati.

Kadang orang jenis ini bisa sangat menghibur di kala suntuk, namun juga bisa membuat diri makin hancur sampai untuk bangun tidur saja kikuk.

***

Tapi benar katanya, dalam hal aaaaaapaaaa saaaajaaaa, evaluasi harusnya haram dilakukan. Bukan berarti menolak perubahan atau perbaikan, tapi skala baik-pantas-enak-keren-dll dalam benak tiap orang itu berbeda-beda, kan?

Aku mengimani bahwa tiap orang itu bertalenta dan bisa berkarya dengan segala apa yang mereka miliki. Kita semua ini tidak sederhana, tetapi aturan dan lingkunganlah yang merubah dan menekan kita menjadi sederhana.

Bagi khalayak ramai, orang yang malas mandi itu menjijikkan, padahal jika dilihat dari sudut pandang lain, orang itu turut berperan dalam mengurangi pemanasan global dengan menghemat penggunaan air, lho. :p

Bagi sebagian masyarakat lagi, para penyandang difabel dicap tak layak hidup karena dianggap tak bisa apa-apa dan hanya menambah beban keluarga atau bahkan, negara.
Tapi sebagai sampel sederhana, aku kenal dan tau sendiri bahwa seorang difabel seperti mas Adityanta Dani (@daniiaaditya kalau aku tidak salah usernamenya) bisa menyampaikan keresahannya dan pendapatnya pada banyak orang lewat panggung SUC. Ia dihargai, disenangi dan disegani selayaknya orang normal.

Dan kalau memang orang difabel yang direndahkan ini tak layak hidup, mengapa di kota megapolitan banyak sekali orang normal yang mencacatkan diri hanya untuk sekedar jadi pengemis di perempatan jalan?

Nah!
Bertambah lagi satu pertanyaanku untukmu,
orang yang tak tau merk parfum apa yang dirinya gunakan (tapi aku yakin pasti regaza hijau!) dan penggemar tiang listrik untuk dijadikan objek foto. :)

Dari,
gadis 17 tahun yang selalu ingin tahu;


Farida Firdani.

19 Oktober 2014, Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar