Jika dibisikkan kata "Traveling", yang terpikirkan di benakku hanya dua hal; Traveloka dan Indonesia.
Mengapa Traveloka? Karena untuk orang kekinian yang malas rempong-rempongan dan doyan harga muwiriiing, kehadiran Traveloka sungguh seperti pesawat sederhana yang sangat meringankan 'beban' kita, para pemburu harga tiket murah demi liburan yang lebih meriah. :D
Lalu, kenapa Indonesia? Sederhana, karena aku dilahirkan dan tumbuh besar di sini. Di negeri dengan ribuan pulau dan jutaan penduduk yang punya beraneka ragam budaya, bahasa, apalagi rupa. Aku hanya ingin semakin memahami dan menyatu dengan negeriku sendiri. Agar aku tak lupa diri, dan tak jadi kacang yang lupa pada kulitnya.
Dan jika aku diberi kesempatan untuk traveling gratis oleh Traveloka, aku dengan lantang akan menunjuk sekeping kecil di bagian barat sumatera; Bukittinggi, untuk tempat pendaratan lalu mereka-ulang masa kecilku meski hanya untuk beberapa waktu.
(Mantan) Ibu Kota Indonesia pada jaman penjajahan dulu itu merupakan kota penuh kenangan dan pembelajaran bagiku. Dengan petuah "Alam Takambang Jadi Guru"-nya, lima tahun tinggal di Bukittinggi mampu membuat darah-darah minangkabau seakan berdesir hebat di seluruh tubuhku. Lidah dan otakku juga masih fasih mengingat dialeknya yang meliuk-liuk.
Selain karena petuah-petuah lawas yang bercokol dengan baik dan kuat di masyarakatnya, pasti juga karena kekerabatan yang begitu erat antar sesama, sehingga aku tak merasa adanya perbedaan hak antara pendatang dan penduduk asli. Serta alamnya yang sungguh elok dan.... sekalipun jalan menuju surga-surga tersembunyi itu berkelok-kelok, tapi hawa sejuk dan kuliner-kuliner khasnya benar-benar candu
Iya, Bukittinggi hawanya suwejuk!
Aku masih ingat kali pertama hijrah dari Tanjung Pinang ke Bukittinggi tahun 2007 silam, dan dibuat terkekeh saat dengan angkuhnya menyalakan tombol remote AC lalu harus dikerok.i keesokan paginya karena masuk angin. Ehm, teruntuk produsen AC, sebaiknya hentikan memasarkan AC di Bukittinggi atau habitat beruang kutub akan pindah ke sana. :(
Akhirnya, pekan pertama Firda Kecil hanya dihabiskan dengan bergelung di kasur hotel, mabuk omelan Mama dan masakan padang sepanjang hari -- maklum, tepat di sebelah hotel ada rumah makan padang yang cukup famous dan terjamin keenakannya, dan aku memang anaknya kalap kalau sudah ketemu makanan. Hehehe --
Omong-omong Mama, di Ranah Minang ini ada lagi yang unik selain angka romawi 4 yang ditulis IIII pada Jam Gadang, kuah sate yang berwarna kuning, serta batu yang menyerupai Malin Kundang; garis keturunan di sana menganut sistem Matrilineal, di mana perempuan sungguh digadang-gadangkan. Tak seperti di Jawa, di Ranah Minang, saat prosesi lamaran, pihak wanita lah yang melamar si pria. Istilah kasarnya, pria ini 'dibeli', bukan wanita lagi yang 'dibeli'. Berbeda sekali dengan adat Jawa yang menganut Patrilineal, kan? Pun jika terjadi perceraian, pihak pria lah yang harus angkat kaki, bukan si wanita.
Tapi memang tak dipungkiri, di antara sekian banyak keunikan dan keindahan masyarakat, alam dan budayanya, masakan padang adalah surga kelezatan yang hakiki. Mulai dari makanan yang bikin sehat sampai yang mengandung kolesterol jahat, ada semuaaa! Dulu partner terbaikku untuk icip-icip setiap pulang latihan basket di Lapangan Kantin adalah Papaku. Mulai dari pensi kuah pedas, kepiting saus padang, mie aceh belakang Ramayana, rujak cingur dan gulai kapalo ikan di Padang Lua, serta bubur kuah kare di Lapangan Kantin tiap minggu pagi tak pernah luput jadi pemadam kelaparan kami.
Sekarang, satu-satunya pria yang selalu ku ajak dan mau berbagi suap dari denting sendok pertama sampai piringku licin tandas hanyalah Ulwan Fakhri. Lelaki yang ingin ku ajak menjejak Bukittinggi dan kuperkenalkan di hadapan pusara Papaku. Mengenalkan pada beliau bahwa kini sudah ada pria yang menjaga putrinya dengan cara yang sama anehnya seperti beliau menjagaku dulu.
Aku ingin dua putra adam yang sangat berarti dalam 17 tahun aku hidup ini bertemu, meski tak bisa saling rengkuh. Lagipula, hampir genap 4 tahun setelah kepergian Papa, tapi Malang dan rutinitas yang tanpa batas ini selalu berhasil menahanku untuk terbang dan memeluk nisan biru beliau.
Teruntuk Traveloka dan Sriwijaya Air,
Dari gadis 17 tahun yang rindu mengecap embun pagi kelok empat empat dan ingin bercengkrama serta berbagi keluh kesah pada seorang ayah yang tlah jadi tanah.
-Farida Firdani
Malang, 26 November.
Aaah aku juga pingin ke bukitinggi looh..
BalasHapus